Sabtu 04 Nov 2023 12:07 WIB

Advokat: MKMK yang Dipimpin Jimly tak Berwenang Batalkan Putusan MK

MKMK hanya berwenang memeriksa dan memutus pelanggaran kode etik hakim.

Rep: Febryan A/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Prof Jimly Asshiddiqie usai bertemu dengan sembilan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Prof Jimly Asshiddiqie usai bertemu dengan sembilan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Advokat Pengawal Konstitusi (APK), salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi Arief Hidayat, mengingatkan, Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak berwenang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia minimum capres-cawapres.

Putusan Nomor 90 itu diketahui menyatakan bahwa anggota legislatif dan kepala daerah di semua tingkatan berhak menjadi capres ataupun cawapres, meski belum berusia 40 tahun. Putusan itu membukakan jalan bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming (36 tahun) menjadi cawapres Pilpres 2024.

Baca Juga

Hanya saja, sejumlah hakim konstitusi diduga kuat melanggar kode etik ketika menyusun putusan tersebut. Terutama Ketua MK Anwar Usman yang merupakan paman Gibran. Alhasil, pakar hukum tata negara Denny Indrayana melaporkan Anwar ke MKMK dan mendesak MKMK mengoreksi putusan MK Nomor 90.

Koordinator APK, Raden Elang Mulyana mengatakan, MKMK tidak berwenang mengubah atau membatalkan putusan MK Nomor 90 karena bukan kewenangannya. Sebab, MKMK hanya berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat 2 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

"MKMK tidak memiliki alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perubahan atau pembatalan pelaksanaan atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023," kata Raden lewat keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (4/11/2023).

Raden menjadikan, putusan pelanggaran kode etik mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar sebagai contoh. Dalam kedua perkara tersebut, MKMK menyatakan masing-masing melanggar kode etik dan menjatuhkan sanksi pemberhentian secara tidak hormat.

Namun, MKMK tidak membatalkan ataupun mengubah putusan MK yang dua orang itu ikut terlibat dalam penyusunannya. Raden menekankan pula bahwa putusan MK tidak bisa diubah atau dibatalkan karena putusan tersebut bersifat final, sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945.

Bersifat final berarti putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Pun putusan MK bersifat mengikat.

"Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) dalam arti sah memiliki kepastian hukum dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apa pun," kata Raden.

MKMK diketahui menerima 21 laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap semua hakim konstitusi dalam penyusunan putusan Nomor 90. Ketua MK Anwar Usman paling banyak dilaporkan.

MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dan pembuktian secara maraton sejak Selasa (31/10/2023) hingga Jumat (3/11/2023). Sembilan hakim konstitusi juga sudah diperiksa. Khusus Anwar Usman diperiksa dua kali.

MKMK akan membacakan putusan pada Selasa (7/11/2023). Jimly mengatakan, dalam putusan etik tersebut akan ditentukan pula bagaimana implikasinya terhadap putusan MK Nomor 90.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement