Jumat 03 Nov 2023 20:35 WIB

Pakar Sebut Jika Ada Pelanggaran Kode Etik, Putusan MK Bisa Batal

Keputusan MK lazimnya mesti diterima publik dan langsung berlaku tanpa upaya hukum.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
 Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Selatan, Senin (15/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Selatan, Senin (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan menilai, putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan. Namun, pembatalan putusan itu hanya mungkin jika MK menemukan pelanggaran kode etik pada sembilan hakim yang mengeluarkan putusan tersebut.

"Jika putusan MKMK ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik," ucap Fauzan kepada wartawan di Jakarta Jumat (3/11/2023).

Putusan Momor 90 dikeluarkan merespons permohonan gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres. Dalam putusan itu, MK menetapkan syarat pendaftaran capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. 

Putusan itu membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk melenggang menjadi pendamping Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun, tapi akhirnya bisa maju. Adapun Anwar berstatus sebagai paman Gibran. 

Keputusan itu berbuntut panjang. Sejumlah pihak melaporkan dugaan pelanggaran etik dalam putusan tersebut. MKMK pun dibentuk. Ketuanya, eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Saat ini, perkara dugaan pelanggaran etik hakim MK itu tengah diselidiki. Sidang pendahuluan telah digelar. 

Bila merujuk pada hukum tata negara positif atau sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C Undang- Undang Dasar 1945, menurut Fauzan, keputusan MK lazimnya mesti diterima publik dan langsung berlaku tanpa upaya hukum. 

Namun, proses hukum di MKMK membuka jalan untuk pembatalan putusan nomor 90. Jika mengutapakan aspek moralitas, menurutnFauzan, bisa saja MKMK mengesampingkan hukum tata negara yang selama ini berlaku di Indonesia. 

"MKMK bisa menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik, putusannya tidak mengikat. Jika ini yang terjadi, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan kita, dan pasti ini menimbulkan diskursus juga," kata Fauzan.

Dia membatakan, MKMK bisa juga tidak membatalkan putusan nomor 90 meskipun hakim MK terbukti melanggar etika. Namun, ia berharap, MKMK membuat terobosan dengan menetapkan putusan hakim yang terbukti melanggar kode etik bisa dibatalkan. 

"Pembatalannya ada dua cara.  Pertama, pembatalan oleh MK sendiri atas perintah MKMK. Kedua, oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik," kata Fauzan. 

Aspirasi agar putusan MK dibatalkan juga disuarakan hukum tata negara Denny Indrayana. Dalam sebuah rilis pers, Denny berharap MKMK berani membatalkan putusan nomor 90 jika menemukan pelanggaran etika hakim dalam proses pengambilan putusan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement