REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata tidak ikut mengambil keputusan dalam penanganan kasus eks pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi terjadinya konflik kepentingan.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengungkapkan, Alexander Marwata telah melaporkan secara internal bahwa ia mengenal Rafael. Sehingga Alexander tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan penyelidikan kasus Rafael.
"Bila ada potensi benturan kepentingan, maka setiap insan KPK tersebut paham dan menyatakan ada hubungan dengan para pihak (yang sedang ditangani KPK) sehingga tidak ikut dalam suara pengambilan keputusan," kata Ali kepada wartawan, Kamis (16/3/2023).
Namun, Ali menjelaskan, Alexander tetap boleh memberikan pendapat hukumnya ketika proses penanganan kasus ini. Berdasarkan peraturan komisi (perkom) yang berlaku di KPK, dia hanya tidak dapat ikut dalam pengambilan keputusan.
"Kalau pendapat hukumnya, ya, itu sah-sah saja kan untuk memberikan masukan. Tapi untuk mengambil keputusannya, itu yang kemudian tentu sesuai perkomnya (peraturan komisi) kemudian ada pembatasan," jelas Ali.
Ali pun memastikan penyelidikan kekayaan Rafael akan dilakukan secara profesional. Bahkan, dia menyebut, Alexander mendukung penanganan kasus itu. "Dan saya kira beliau juga sudah sampaikan kepada teman-teman bahwa (satu almamater dengan Rafael) tidak memengaruhi proses penyelidikan. Yang artinya, Pak Alexander akan mendukung proses ini," ujar dia.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga ada konflik kepentingan dalam proses penyelidikan harta kekayaan eks pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Dugaan ini muncul setelah Alexander Marwata diketahui merupakan satu lulusan STAN bersama dengan Rafael.
"Merujuk pada sejumlah informasi, salah satu Pimpinan KPK, Alexander Marwata, diduga lulus dari pendidikan STAN pada tahun yang sama dengan Rafael, yaitu tahun 1986," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya.
Kurnia mengatakan, relasi di antara keduanya tidak menutup kemungkinan dapat memengaruhi pernyataan atau keputusan yang bakal dikeluarkan oleh Alexander. Oleh sebab itu, dia menyebut, Alexander harus secara terbuka mendeklarasikan potensi benturan kepentingan.
Deklarasi itu, jelas Kurnia, wajib disampaikan kepada Pimpinan KPK lain dan Dewan Pengawas (Dewas). Ia mengungkapkan, deklarasi ini juga diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a Peraturan Komisi Nomor 5 Tahun 2019.
"ICW mendesak kepada pihak-pihak di KPK yang memiliki afiliasi dengan Rafel untuk mendeklarasikan potensi benturan kepentingan," ujar Kurnia.
"Jika kemudian dinilai oleh Pimpinan KPK lain dan Dewan Pengawas potensi benturan kepentingan di atas faktual serta berdampak besar terhadap netralitas pekerjaan, maka Alexander harus dibatasi dalam pelaksanaan tugas, terutama di ranah penindakan," tambah dia menjelaskan.
Seperti diketahui, kekayaan Rafael Alun belakangan menjadi sorotan publik. Dia diketahui memiliki harta sebesar Rp 56 miliar dan dinilai tidak wajar lantaran jabatannya yang masuk dalam ASN eselon III.
KPK pun telah memanggil Rafael untuk melakukan klarifikasi terhadap LHKPN miliknya pada 1 Maret 2023. Setelah diklarifikasi, KPK menaikkan status pemeriksaan LHKPN Rafael ke tahap penyelidikan. Lembaga antirasuah ini bakal menyelidiki asal kekayaan Rafael dan menelusuri aset yang tak tercantum dalam LHKPN miliknya.