REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) sama-sama membantah menjadi sebab gagalnya KPK melaksanakan peran koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi. Polri menegaskan, selama ini menjadi institusi penegak hukum yang menyokong penuh dalam penguatan KPK sebagai lembaga utama pemberantasan korupsi. Pun Kejagung mengatakan kerap membantu KPK dalam menjalankan peran koordinasi maupun supervisi pemberantasan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Trunoyudo mengatakan, Polri mengakui KPK merupakan lembaga hukum utama dalam penuntasan tindak pidana korupsi. Kata Truno, dalam pemberantasan korupsi, KPK memiliki kewenangan yang lebih melakukan koordinasi, dan supervisi. Dan Polri, kata dia, selama ini membantu penguatan KPK melalui pengiriman personel-personel terbaik.
“Polri selalu bersinergi dengan KPK. Dan itu terbukti dengan penugasan-penugasan personel-personel Polri yang terbaik untuk KPK,” begitu kata Truno, Rabu (3/7/2024).
Menurut Truno, Polri pun selama ini turut membantu fungsi dan peran KPK dalam menjalankan perannya di lapangan. Termasuk dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas milik Polri di wilayah-wilayah yang menjadi lokasi operasi KPK.
“Personel-personel Polri yang dikirim untuk mendukung tugas-tugas KPK, merupakan personel-personel yang terbaik secara integritas, akademis, dan berdedikasi. Dan Polri terus berkomitmen membantu dan mendukung KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi dan selalu membuka koordinasi dalam penegakan hukum yang dilakukan bersama-sama dengan KPK,” ujar Truno.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar pun menyesalkan pernyataan KPK itu. Harli mengatakan, selama ini kejaksaan selalu membuka pintu, bahkan turut membantu KPK dalam inisiatif koordinasi maupun supervisi. Termasuk perbantuan terhadap KPK dalam penguatan peran, maupun fungsi pemberantasan korupsi.
“Kami rasa, apa yang disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata itu tidak benar,” begitu kata Harli saat ditemui di Kejagung, Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Beberapa alasan yang menurut Harli penyampaian Alexander itu tak sesuai. Seperti soal hubungan antara kejaksaan dan KPK yang selama ini tanpa hambatan.
“Kami sangat terbuka dengan KPK dalam menjalankan tugas maupun fungsinya. Karena KPK seperti kita ketahui memiliki fungsi dan kewenangan yang sangat besar (yang diatur dalam UU KPK). Seperti fungsi koordinasi dan supervisi itu sendiri. Tidak mungkin kami kejaksaan menutup diri terhadap lembaga yang menjalankan peran dan fungsi besarnya itu,” kata Harli.
Kejagung pun, kata Harli, selama ini membantu penguatan KPK dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Yaitu, dengan menyiapkan para jaksa dengan kualifikasi tertinggi untuk menjalankan tugas fungsi di KPK.
“Jadi bagaimana mungkin dalam peran dan tugas KPK yang besar itu, kami dikatakan tidak mendukung. Kami sangat terbuka terhadap KPK dalam menjalankan peran koordinasi dan juga supervisi,” begitu ujar Harli.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, Senin (1/7/2024) menyampaikan pengakuan tentang kegagalannya sebagai komisioner dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun kegagalan tersebut, kata dia, bukan tanpa sebab.
Dikatakan dia, ada beberapa faktor yang membuat dirinya gagal. Salah satunya, yakni faktor eksternal. Dalam hal tersebut, kata Alexander, sulitnya dalam menjalankan peran koordinasi maupun supervisi dengan lembaga penegak hukum lainnya, seperti dari Polri maupun Kejagung. Alexander merasa, Polri dan Kejagung selama ini mempertahankan ego sektoral dalam pemberantasan korupsi.
“Kalau misalnya, kami menangkap jaksa, tiba-tiba dari pihak kejaksaan menutup pintu koordinasi dan supervisi. Mungkin juga dengan kepolisian demikian. Ini persoalan ketika kita berbicara pemberantasan korupsi ke depan. Saya khawatir dengan mekanisme seperti ini,” begitu ujar Alaxander.