Rabu 15 Mar 2023 01:51 WIB

Coklit oleh Pantarlih Jadi Penanda Pemilu 2024 tidak Ditunda

Berdasarkan pemutakhiran data pemilih saat ini tercatat sebanyak 204.559.713 pemilih.

Warga Suku Badui menunjukkan stiker tanda bukti pencocokan dan penelitian (Coklit) data pemilih Pemilu 2024 di Kampung Kadujangkung, Lebak, Banten, Ahad (19/2/2023). Coklit yang berlangsung hingga 14 Maret 2023 tersebut dilakukan oleh Pantarlih dengan mengunjungi setiap kampung yang berada di pedalaman Suku Badui guna mengantisipasi ketidaksesuaian data Pemilu 2024.
Foto:

Hingga Selasa (14/3/2023), Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) belum mengajukan permohonan eksekusi atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), yang salah satunya memerintahkan penundaan Pemilu 2024. Sebab, Prima ingin berdamai dengan KPU RI. 

"Belum (kita ajukan permohonan eksekusi) karena kita masih berharap proses ini masih bisa menemukan titik temu. Ada titik temu yang lebih soft, yang lebih damai di antara dua pihak," kata Sekretaris Jenderal Prima Dominggus Oktavianus kepada wartawan, usai bersidang di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (14/3/2023). 

Prima sebelumnya memang sudah menyampaikan secara terbuka terkait opsi damai ini. Prima menyatakan mau mencabut gugatannya yang sudah diputuskan PN Jakpus tersebut dengan satu syarat. Syaratnya adalah KPU RI menetapkan Prima sebagai peserta Pemilu 2024. 

Namun, KPU RI menolak opsi damai itu. KPU RI menyatakan tidak bisa mengambil jalur kompromi semacam itu karena tidak diatur dalam UU Pemilu. KPU memilih untuk menghadapi gugatan Prima lewat jalur hukum.

Dominggus tak ambil pusing dengan keengganan KPU RI untuk berdamai. Sebab, Prima siap meladeni KPU RI lewat jalur hukum.

"Ini sebenarnya juga jalur hukum lewat Bawaslu. Kita juga masih menunggu proses di Mahkamah Agung," kata Dominggus. 

Jalur hukum lewat Bawaslu yang dimaksud adalah laporan dugaan pelanggaran administrasi KPU RI. Perkara ini sedang bergulir, yang sidang perdananya digelar hari ini.

Sedangkan, proses di Mahkamah Agung (MA) adalah permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang menolak gugatan Prima agar dijadikan peserta pemilu. Dominggus melanjutkan, apabila putusan dari sejumlah lembaga peradilan itu tidak bisa membuat Prima menjadi peserta pemilu, maka pihaknya akan menempuh jalur lain.

"Kita sudah mempersiapkan beberapa alternatif kejutan berikutnya, nanti ada," ujarnya tanpa memberikan penjelasan detail. 

Hasil survei

Political Weather Stations (PWS) merilis hasil survei terbaru yang dilakukan periode 3-10 Maret 2023. Salah satunya menyoroti putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU menunda tahapan pemilu sampai 2025.

Peneliti PWS, Sharazani mengatakan, survei yang dilakukan kepada 1.200 responden itu mendapati mayoritas publik menyatakan kurang setuju atau tidak setuju atas Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN per 2 Maret 2023. Angkanya mencapai 79,6 persen.

"Sebanyak 79,6 persen responden menyatakan kurang atau tidak setuju terhadap keputusan PN Jakpus tentang penundaan Pemilu 2024 yang pada akhirnya memberi ruang bagi perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi," kata Sharazani, Selasa.

Cuma 14,9 persen yang menjawab setuju dan 5,5 persen responden tidak memberikan jawaban alias tidak tahu. Sharazani mengungkapkan, hasil survei ini sekaligus menegaskan sikap mayoritas publik akan selalu menolak kedua ide tersebut.

"Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi berapa tahunpun akan selalu ditolak oleh mayoritas publik," ujar Sharazani.

Selain itu, PWS turut melakukan survei soal sistem pemilu yang belakangan mulai menjadi perhatian setelah digugat. Yang mana, diusulkan PDIP untuk kembali dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup untuk Pemilu 2024 mendatang.

Ia menerangkan, bagian terbesar publik atau 45,3 persen responden kurang atau tidak setuju terhadap wacana pemberlakukan kembali sistem proporsional tertutup. Sedangkan, 36,4 persen responden setuju untuk kembali ke proporsional tertutup.

Selain itu, jumlah responden yang menjawab tidak tahu masih cukup besar karena mencapai 18,3 persen. Sharazani berpendapat, itu semua menerangkan kalau wacana tentang sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup kurang dipahami publik.

"Lebih merupakan konsumsi elite," ujar Sharazani.

Populasi dari survei ini sendiri seluruh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih atau minimal 17 tahun atau belum 17 tahun tapi sudah menikah. Jumlah sampel 1.200 responden memakai teknik pencuplikan secara acak sistematis. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement