Kamis 09 Mar 2023 16:42 WIB

Dradjad Singgung Rusak Mental dan Kegagalan Reformasi serta Remunerasi Kemenkeu

Jokowi diminta proses hukum dan bekukan aset oknum Ditjen Pajak dan Bea Cukai

Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyinggung soal kegagalan reformasi dan remunerasi di Kemenkeu.
Foto: tangkapan layar
Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyinggung soal kegagalan reformasi dan remunerasi di Kemenkeu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo mengusulkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera memerintahkan dimulainya proses hukum, khususnya proses pembekuan dan penyitaan aset oknum-oknum Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai yang rusak mental itu. 

Dradjad berharap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bertindak supergalak ke mereka. Sri Mulyani juga untuk tidak segan mengakui kegagalan reformasi birokrasi dan remunerasi di Kemenkeu. "Lalu lakukan perombakan sistem secara total. Sistem cek dan ricek internal mutlak harus dibangun. Sehingga, semua jajaran Kemenkeu akan proaktif mencegah rekan kerjanya berbuat kerusakan,” kata Dradjad, Kamis (9/3/2023). 

Jika tidak, menurut Dradjad, taruhannya sangat besar. Reputasi dan kredibilitas Kemenkeu bisa runtuh, terutama di antara generasi milenial yang merupakan pembayar pajak pada masa depan. “Ini berbahaya bagi ketahanan fiskal,” kata ekonom senior INDEF ini.

Pada era medsos seperti ini, menurut Dradjad, pandangan buruk di atas akan sulit dilawan. Bahkan, jika Kemenkeu melakukan operasi media besar-besaran memakai dana APBN sekali pun. 

Mencuatnya berbagai kasus aset super gendut dan dugaan pencucian uang oleh oknum-oknum Kemenkeu, kata Dradjad, juga menjadi bukti ketepatan Pandangan Fraksi PAN periode 2004-2009 mengenai reformasi birokrasi dan remunerasi. 

Dijelaskannya,  saat itu, Dradjad bertugas sebagai wakil ketua Fraksi PAN bidang Ekonomi. "Saya lupa tanggal pastinya. Pada akhir 2007 atau awal 2008, kami harus menyampaikan Pandangan Fraksi di Rapat Paripurna DPR, dibacakan oleh alm Dr Marwoto. Pada periode 2009-2014 beliau sempat menjadi wakil ketua DPR sebelum wafat. Kami berdua menyusun pandangan tersebut dan disetujui oleh Ketua Fraksi Zulkifli Hasan,” kata Dradjad.

Adapun isi pandangan Fraksi PAN DPR RI adalah mendukung reformasi birokrasi dan menolak remunerasi. Alasannya, pertama Fraksi PAN meminta Kemenkeu membangun dulu sistem cek dan ricek internal yang efektif. Setelah itu baru remunerasi bisa diterapkan. Jika tidak, kata Dradjad, penyelewengan uang negara susah dihentikan.

Kedua, Fraksi PAN ingin kementerian lain juga mendapat remunerasi dengan jumlah dan timing yang sama, agar tidak ada kecemburuan. Ketiga, pengalaman BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) membuktikan kegagalan gaji tinggi mencegah kasus dan skandal. “Rencana remunerasi (tunjangan kinerjanya) saat itu adalah sekitar Rp 45 juta-Rp48 juta per bulan,” kata Dradjad menjelaskan. 

Semua alasan Fraksi PAN sekarang ini terbukti. Bahkan jauh lebih rusak dari yang dibayangkan saat itu. Remunerasi menjadi setinggi tujuh langit, hingga di atas Rp 100 juta per bulan.

“Itu pun pejabat Kemenkeu masih ada yang menjadi komisaris BUMN dengan gaji yang mungkin tidak jauh dari angka Rp 100 juta, ditambah potensi bonus tahunan yang milyaran,” katanya memaparkan. 

Penerima dana Progam Keluarga Harapan (PKH), jika mempunyai 2 anak usia dini, mereka mendapat Rp 6 juta per tahun. "Silakan dihitung sendiri, penghasilan pejabat Kemenkeu setara dengan bantuan PKH bagi berapa ratus keluarga miskin. Jadi, sistem di Kemenkeu memang harus dirombak total,” ujar Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement