REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonomi senior INDEF, Dradjad Wibowo, menilai, narasi yang menyebut harga beras naik karena bantuan sosial (bansos) adalah salah dan menyesatkan. Menurut Dradjad, harga beras dunia memang sedang naik tinggi.
“Salah, karena bertentangan dengan teori baku. Jika bansos membuat harga beras naik, berarti bansos menggeser kurva permintaan ke kanan,” kata Dradjad, dalam keterangan, Senin (26/2/2024).
Dradjad menambahkan, fakta lainnya adalah rakyat penerima bansos selama ini mengonsumsi beras dalam jumlah tertentu. Bedanya, tanpa bansos, mereka membeli beras dari kantong sendiri. Dengan bansos, uangnya utuh atau dibelanjakan barang dan jasa lain. Kuantitas berasnya relatif tidak berubah banyak.
“Jadi yang bergeser akibat bansos adalah pendapatan disposable rakyat. Bukan kurva permintaan beras. Jika permintaan beras tidak bergeser, cateris paribus, harga tidak berubah. Jadi narasi itu bertentangan dng teori,” ujar Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Dradjad mengatakan narasi harga beras naik akibat bansos menyesatkan karena tidak berbasis data. Faktanya harga beras dunia memang sedang naik tinggi. “Mari lihat data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB yaitu FAO. Mereka mempunyai indeks harga beras yang disebut FARPI, atau the FAO All Rice Price Index,” ujar dia.
Dijelaskannya, pada Januari 2024 angka FARPI adalah 142,8. Bulan Januari 2023 angkanya 126,4. Artinya, harga beras dunia secara rerata naik 13 persen selama Januari 2023-Januari 2024. FARPI Januari 2024 itu bahkan tertinggi sejak 2008.
“Selama 2024 harga beras dunia diperkirakan akan naik 6 persen menurut Bank Dunia. Bahkan, kenaikan ini akan berlanjut hingga awal 2025,” kata Dradjad yang juga pembina Sustainable Development Indonesia (SDI).
Kenaikan drastis ini, menurut Dradjad, dipicu beberapa faktor. Pertama, larangan ekspor beras varietas non-basmati oleh India per 21 Juli 2023. Larangan ini ditambah dengan restriksi ekspor lain yaitu penerapan harga dasar ekspor 950 dolar AS per metrik ton (MT) terhadap beras basmati dan 20 persen tarif terhadap ekspor beras setengah matang.
India merupakan eksportir beras terbesar dunia dengan menguasai lebih dari 40 persen pasar. India bahkan menyalip Thailand sebagai eksportir terbesar mulai 2011. Restriksi ekspor India membuat 9 juta MT beras menghilang dari pasar global sehingga harga melonjak.
Kedua, lanjut Dradjad, terjadi El Nino sehingga produksi beras di berbagai negara anjlok. S&P memperkirakan produksi India turun dari 135,5 juta MT tahun lalu menjadi 128 juta MT. Pemerintah Thailand memroyeksikan penurunan produksi 6 persen selama 2023-2024.
Dengan demikian, kata Dradjad, wajar jika harga beras di Indonesia juga melonjak. Untuk mengurangi dampak buruk kenaikan beras ini bagi rakyat, pemerintah perlu segera menggelontor pasar dengan cadangan beras Bulog. Operasi pasar ini bisa mengurangi skala kenaikan harga.
Hal inilah, menurut Dradjad, yang membuat Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mendorong masyarakat beralih ke beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) yaitu beras Bulog. Mendag juga menyebut stok aman karena Bulog memilik cadangan 1,5 juta ton, dan sudah mengimpor 4 juta ton serta on going 2 juta ton.
Menko Perekonomian Airlangga dan Mendag Zulkifli juga sudah meminta penyaluran beras Bulog dipercepat dan diperbanyak. Gerak cepat Bulog ini sangat penting bagi rakyat banyak, selain untuk mementahkan pelintiran politik yang mengarah fitnah.