Senin 06 Mar 2023 19:17 WIB

FSGI: Awal 2023, Ada 6 Kasus Perundungan dan 14 Kekerasan Seksual di Sekolah

FSGI sebut ada enam kasus perundungan dan 14 kekerasan seksual di sekolah awal 2023.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti maraknya tindak kekerasan atau perundungan di satuan pendidikan yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Berdasarkan catatan FSGI, sepanjang dua bulan pertama pada 2023 sudah tercatat ada enam kasus tindak perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan.

"Dari catatan FSGI, kasus perundungan pada Januari-Februari 2023 terjadi di jenjang pendidikan SD ada satu kasus, Madrasah Tsanwiyah (MTs) tercatat satu kasus, pondok pesantren ada satu kasus, dan terbanyak terjadi di jenjang SMK sebanyak tiga kasus," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dalam keterangan tertulis, Senin (6/3/2023).

Baca Juga

Adapun kasusnya, yakni santri berusia 13 tahun yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Lalu ada kepala madrasah di Gresik, Jawa Timur, menampar 15 anak karena jajan di luar kantin sekolah siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya.

Kemudian ada guru di Garut, Jawa Barat, menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut. Berikutnya, di kabupaten Banyuwangi ada siswa SD berusia 11 tahun bunuh diri diduga karena dirundung karena tidak memiliki ayah.

"FSGI menyampaikan duka mendalam pada keluarga korban MR di Banyuwangi yang diduga mengalami perundungan dari teman-teman di sekolah dan ditempat mengaji, karena tak mendapatkan pertolongan MR kemudian memutuskan bunuh diri," kata Retno.

Retno mengatakan, korban dirudung karena tidak punya ayah yang meninggal setahun yang lalu. Menurut dia, kehilangan ayah tentu merupakan tekanan psikologi berat bagi anak. Ketika masalah psikologi kehilangan itu belum pulih, anak korban justru dirundung lantaran kehilangan ayahnya.

“Seharusnya para guru membangun empati dan simpati pada peserta didik terhadap sesama peserta didik lain yang sedang berduka karena kehilangan ayahnya, bukan malah dibully. Bahkan lebih aneh lagi, sekolah mengaku tidak pernah tahu bahwa MR di bully teman-teman sekolahnya," jelas Retno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement