REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan semua tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah bisa memanfaatkan gas metana pada tahun 2050.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian LHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan pemanfaatan gas metana dari TPA dilakukan untuk menekan laju emisi karbon yang dihasilkan oleh sampah, terutama sampah organik.
"Kalau sampah bisa dikelola dengan baik, maka sampah akan turut memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca," ujarnya dalam diskusi Pojok Iklim yang dipantau di Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian LHK mencatat Indonesia memiliki 531 TPA yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Pada 2022, jumlah timbunan sampah ada sebanyak 18,89 juta ton per tahun dengan komposisi 41 persen berupa sampah sisa makanan yang mayoritas bersumber dari rumah tangga.
Vivien menjelaskan bila melewati TPA, lalu tercium aroma busuk yang menyeruak ke hidung, maka TPA itu punya banyak sampah organik. Sedangkan, jika TPA tidak tercium aroma busuk, maka TPA itu hanya berisi residu atau sampah-sampah anorganik yang sulit terurai.
Menurutnya, sampah organik menghasilkan gas metana yang bisa diolah menjadi energi listrik. "Saya ambil contoh TPA di Semarang, itu memanfaatkan gas metana," kata Vivien.
Ketika tragedi longsoran bukit sampah di TPA Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005, pemicu utamanya adalah gas metana yang meledak. Longsoran itu menimbun dua pemukiman dan menewaskan 157 orang.
Pada momentum Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023, Vivien mengajak semua orang untuk memetik pelajaran dari peristiwa longsornya TPA Leuwigajah tersebut bahwa sampah yang tidak dikelola secara baik bisa merenggut nyawa manusia. "Dalam momentum HPSN, maka kita sekarang bergerak menuju zero waste zero emission," ujarnya.