REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum PBB menjadi forum terpenting yang berurusan dengan perang Rusia dan Ukraina karena Dewan Keamanan PBB yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan internasional, lumpuh akibat hak veto Rusia. Sementara lima resolusi majelis PBB sebelumnya tentang perang Rusia dan Ukraina tidak mengikat secara hukum.
Resolusi pertama yang diadopsi delapan hari setelah invasi Rusia pada 24 Februari 2022 lalu menuntut gencatan senjata segera dan penarikan semua pasukan Rusia. Resolusi itu disetujui dengan suara 141-5 dengan 35 abstain.
Resolusi kedua terjadi tiga minggu kemudian yang isinya menyalahkan Rusia atas krisis kemanusiaan Ukraina dan menyerukan perlindungan warga sipil dan rumah serta infrastruktur penting untuk kelangsungan hidup mereka. Resolusi itu diadopsi dengan suara 140-5 dengan 38 abstain.
Resolusi ketiga, 12 Oktober mengutuk “upaya aneksasi ilegal” Rusia atas empat wilayah Ukraina dan menuntut pembalikan segera. Resolusi itu mendapat suara tertinggi dari resolusi-resolusi sebelumnya yakni 143-5 dengan 35 abstain.
Dua resolusi lain yakni menangguhkan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berbasis di Jenewa dan menyerukan agar Rusia dimintai pertanggungjawaban karena melanggar hukum internasional dengan menyerang Ukraina, termasuk membayar ganti rugi atas kerusakan, kematian dan cedera. Kedua resolusi ini mendapatkan lebih sedikit suara “ya” dengan masing-masing 93 dan 94 suara.
Kini, resolusi terbaru sedang dirancang. Uni Eropa pada Rabu (15/2/2023) lalu mengedarkan resolusi yang akan dipilih oleh Majelis Umum PBB pada malam peringatan pertama setahun invasi Rusia ke Ukraina minggu depan. Resolusi yang akan jadi inisiatif PBB ini menyerukan penghentian permusuhan dan perdamaian yang menjamin Ukraina tetap pada kedaulatan, kemerdekaan, kesatuan dan keutuhan wilayah.
Direncanakan tidak ada veto di badan dunia beranggotakan 193 negara itu, sehingga resolusi tersebut pasti akan diadopsi pada akhir sesi sidang khusus darurat tingkat tinggi majelis umum PBB. Diharapkan dengan capaian itu penghentian perang akan didapatkan pada 23 Februari.
Untuk menandai peringatan setahun perang tersebut, Ukraina meminta UE untuk menyusun resolusi tersebut dengan berkonsultasi dengan negara-negara anggota PBB, dengan tujuan mengumpulkan dukungan kuat dari komunitas internasional untuk perdamaian di Ukraina sejalan dengan Piagam PBB, kata seorang diplomat UE yang tidak berwenang untuk berbicara di depan umum.
Piagam tersebut menyerukan penyelesaian sengketa secara damai dan menyatakan bahwa semua negara harus menahan diri “dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.”
Ukraina pada awalnya berpikir untuk meminta Majelis Umum mempertahankan 10 poin rencana perdamaian yang diumumkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada pertemuan puncak KTT G20 di Bali, Indonesia November 2022 lalu, kata diplomat AS. Tetapi ide ini dikesampingkan demi resolusi yang lebih luas dan kurang rinci yang diedarkan pada hari Rabu (15/2/2023) ini.
Sebagai salah satu contoh, resolusi terbaru menekankan perlunya memastikan pertanggungjawaban atas kejahatan paling serius yang dilakukan di Ukraina melalui “penyelidikan dan penuntutan yang adil dan independen di tingkat nasional atau internasional.” Itu tidak termasuk seruan Zelenskyy untuk pengadilan untuk mengadili kejahatan perang Rusia.
Draf resolusi akhir sedikit berbeda dari draf asli yang diperoleh hari Jumat (17/2/2023) oleh The Associated Press. Resolusi terbaru itu menambahkan seruan “untuk penghentian permusuhan” dan mengacu langsung pada “invasi skala penuh ke Ukraina” setahun yang lalu, menegaskan kembali kebutuhan untuk mencapai “perdamaian yang komprehensif, adil dan abadi” di Ukraina “sesegera mungkin” yang sejalan dengan Piagam PBB.
Rancangan tersebut meminta negara-negara anggota PBB dan organisasi internasional “untuk melipatgandakan dukungan untuk upaya diplomatik” demi mencapai perdamaian dengan persyaratan tersebut. Rancangan itu juga mendukung upaya Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan negara-negara yang tidak disebutkan namanya.
Resolusi yang diusulkan menegaskan kembali permintaan Majelis Umum PBB sebelumnya bahwa Rusia “segera, sepenuhnya, dan tanpa syarat menarik semua pasukan militernya” dari perbatasan Ukraina yang diakui secara internasional.
Resolusi ini juga menyesalkan "konsekuensi hak asasi manusia dan kemanusiaan yang mengerikan" dari agresi Rusia, termasuk serangan berulang terhadap infrastruktur kritis dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi warga sipil "dan mengungkapkan" keprihatinan serius atas tingginya jumlah korban sipil. Resolusi juga menyerukan penghentian segera serangan terhadap infrastruktur kritis, tempat tinggal, sekolah, dan rumah sakit Ukraina.