REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) merespons kritik terkait seleksi dan nama-nama hakim ad hoc HAM yang telah diajukan ke DPR. KY mengakui seleksi terhadap calon hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung (MA) tidak berada dalam kondisi ideal.
Juru Bicara KY Miko Ginting menemukan kritik organisasi masyarakat sipil soal pemahaman dan kompetensi calon hakim ad hoc HAM. Hal itu terjadi karena terbatasnya calon hakim ad hoc HAM yang mendaftar.
"KY berpandangan yang sama bahwa seleksi terhadap calon hakim adhoc HAM di MA tidak berada dalam kondisi ideal. Terutama disebabkan pendaftar yang terbatas sekalipun penjaringan sudah dilakukan semaksimal mungkin," kata Miko kepada Republika.co.id, Senin (6/2/2023).
Miko menyebut pada awalnya hanya empat calon hakim ad hoc HAM yang mendaftar. KY lantas memerpanjang pendaftaran hingga mendapat 15 pendaftar. Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus. Kemudian dari 13 pendaftar tersebut ada tiga calon yang mengundurkan diri.
"Dari 10 calon, pada tahap seleksi kualitas hanya enam calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya, yaitu seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak. Selanjutnya, hanya lima calon yang dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap wawancara," ujar Miko.
Miko menjelaskan KY dibatasi jangka waktu pelaksanaan seleksi menurut undang-undang maksimal enam bulan. Apalagi pengajuan kasasi sudah dilakukan oleh Kejaksaan terhadap putusan tingkat pertama perkara Paniai dimana terdakwa Isak Sattu diputus bebas dari tuntutan.
"Oleh karena itu, guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim pada tingkat Kasasi melalui seleksi oleh KY," ujar Miko.
Sebelumnya, KontraS mengingatkan KY terkait mendesaknya kebutuhan hakim ad hoc HAM tak mengurangi kualitas seleksi. Sebab kasus pelanggaran HAM berat yang nantinya ditangani hakim ad hoc HAM punya tingkat kesulitannya sendiri.
"Proses tersebut tidak dapat dilakukan secara serampangan dan seadanya mengingat kasus pelanggaran HAM berat memiliki kompleksitas yang berbeda dengan pengadilan umum," ujar Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti.
Fatia juga menegaskan kurang kompetennya hakim ad hoc HAM sudah dipantau KontraS di kasus Paniai pada sidang tingkat pertama. KontraS tak ingin hakim ad hoc HAM di tingkat Kasasi mengulang kesalahan yang sama.
"Dipilihnya hakim ad hoc yang kurang kompeten sesungguhnya telah kami soroti pada kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2022, untuk itu kami berharap agar hal yang sama tidak kembali diulangi oleh KY," tegas Fatia.
Kritik juga disampaikan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP). LeIP mempertanyakan nama-nama hakim yang diluluskan KY. Dari pemantauan LeIP di proses seleksi wawancara menemukan tiga orang calon hakim agung ad hoc HAM yang sudah pernah mendaftar sebagai hakim ad hoc tingkat pertama dan banding.
Namun dinyatakan tidak lulus proses seleksi oleh Panitia Seleksi MA. Yaitu Lafat Akbar dan M Fathan Riyadhi (tidak lolos seleksi tertulis) serta Ukar Priyambodo (tidak lolos seleksi wawancara dan profile assessment). Dari tiga nama ini, Fathan lulus seleksi KY.
"Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait alasan KY meloloskan calon-calon tersebut," kata peneliti LeIP Mentari Anjhanie.
Diketahui, KY meluluskan anggota Polri Harnoto, mantan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, M Fathan Riyadhi dan advokat Heppy Wajongkere menjadi hakim ad hoc HAM. Para hakim ad hoc HAM terpilih baru bisa resmi bertugas setelah mendapat persetujuan dari DPR.
Kini, berkas mereka sudah berada di tangan Komisi III DPR RI. Bila merujuk seleksi periode lalu, DPR bakal menggelar sesi fit and proper test bagi mereka.