REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan lebih dulu penyuap sekaligus Direktur PT Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka dibandingkan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Alasannya, lembaga antirasuah ini menghindari kemungkinan terjadinya konflik horizontal jika duluan menjebloskan Lukas ke penjara.
"Bukan kami enggak tegas, bisa saja kami jemput paksa. Terkait dengan efek sampingannya nanti, kalau masyarakat nanti yang dirugikan (karena) terjadi konflik, tentu itu yang enggak kami kehendaki," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/1/2023).
Oleh sebab itu, Alex mengatakan, saat ini KPK masih berkoordinasi dengan aparat penegak hukum setempat. Sehingga tidak terjadi konflik yang dapat merugikan masyarakat sipil. "Kami menunggu informasi dari aparat septempat apakah memungkinkan untuk dilakukan penahanan dan seterusnya termasuk penjemputan (Lukas Enembe),\" ujarnya.
\"Kecuali dari Lukas Enembe yang menyampaikan akan kooperatif, yang bersangkutan bersedia ke Jakarta. Itu akan lebih bagus, buat masyarakat juga lebih bagus,\" sambung Alex menjelaskan.
Adapun penahanan terhadap Rijatono terhitung mulai tanggal 5 Januari sampai dengan 24 Januari 2023. Dia bakal mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Gedung Merah Putih, Jakarta.
Kasus ini bermula saat, Rijatono mendirikan PT Tabi Bangun Papua yang bergerak di bidang konstruksi pada tahun 2016. Sekitar tahun 2019-2021, dia mulai mengikuti berbagai proyek pengadaan infrastruktur di Pemerintah Provinsi Papua yang saat itu jabatan Gubernur Papua diisi oleh Lukas Enembe. Padahal, perusahaan milik Rijatono tidak memiliki pengalaman mengerjakan proyek konstruksi karena sebelumnya bergerak di bidang farmasi.
Untuk bisa mendapatkan berbagai proyek tersebut, Rijatono diduga melakukan komunikasi, pertemuan hingga memberikan sejumlah uang sebelum proses pelelangan dilaksanakan agar harapannya bisa dimenangkan. Salah satu pihak yang ditemui Rijatono adalah Lukas Enembe dan beberapa pejabat di Pemprov Papua.
Rijatono, Lukas dan beberapa pejabat di Pemprov Papua diduga menjalin kesepakatan dalam pengerjaan sejumlah proyek. Antara lain, yakni adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.
Adapun paket proyek yang didapatkan oleh Rijatono antara lain, paket multi years peningkatan jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14, 8 miliar, proyek multi years rehab sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar, dan proyek multi years penataan lingkungan venue menembak outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12, 9 miliar.
Setelah terpilih untuk mengerjakan proyek dimaksud, Rijatono diduga menyerahkan uang kepada Lukas Enembe dengan jumlah sekitar Rp1 miliar.
Atas perbuatannya sebagai pemberi suap, Rijatono Lakka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan Lukas Enembe sebagai penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.