Rabu 14 Dec 2022 18:42 WIB

Reaksi Atas KUHP Baru Dirasa Wajar

Reaksi terhadap KUHP baru dinilai masih akan terus berlanjut.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi berkemah di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Dalam aksinya, mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan DPR RI, karena dinilai proses pembentukannya tidak partisipatif dan transparan serta memiliki pasal-pasal yang bermasalah yang berpotensi mengancam hak-hak masyarakat. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi berkemah di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Dalam aksinya, mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan DPR RI, karena dinilai proses pembentukannya tidak partisipatif dan transparan serta memiliki pasal-pasal yang bermasalah yang berpotensi mengancam hak-hak masyarakat. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan KUHP yang baru memang masih menuai reaksi pro dan kontra. Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof Marcus Priyo Gunarto mengatakan, reaksi yang muncul dalam pengesahan KUHP baru ini merupakan sesuatu yang terbilang wajar.

Ia menilai, reaksi itu sudah ada dimulai dari kemunculan wacana RKUHP. Lalu, ada lagi reaksi ketika draft mulai disusun, reaksi saat RKUHP dibahas dan reaksi setelah RKUHP disahkan sebagai UU KUHP. Bahkan, diperkirakan belum berhenti.

Baca Juga

Sebab, selama tiga tahun sosialisasi sebelum KUHP yang baru diterapkan, reaksi itu akan terus ada sampai nantinya diterapkan akan ada pula reaksi masyarakat. Bahkan, ia mengingatkan, KUHP lama sampai hari ini masih menimbulkan reaksi.

"Apalagi, kalau kita berada dalam masyarakat yang multietnik, multireligi, multikultur. Maka, tergantung bagaimana sikap dari para penyusun undang-undang ini," kata Marcus dalam seminar yang digelar Fraksi PPP DPR RI, Rabu (14/12/2022).

Secara prinsip, walau belum sempurna, Marcus menyambut baik kehadiran KUHP yang baru ini. Ia mengapresiasi, usaha menyeimbangkan kepentingan umum dan individu, hak asasi dan kewajiban asasi, korban dan pelaku tindak pidana dan lain-lain.

Guru Besar Hukum Pidana UIN Syarif Hidayatullah, Prof Amin Suma, merupakan salah satu perumus awal yang bergabung dalam tim sejak 1999. Sebagai salah satu yang membidangi hukum Islam, Amin menyambut baik kehadiran KUHP yang baru tersebut.

"Saya merasa turut berbahagia dalam pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP ini sebagai salah satu anggota perumus," ujar Amin.

Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, membantah kalau KUHP yang baru disusun dan disahkan secara terburu-buru. Bahkan, ia menyebut, pendapat-pendapat yang menyatakan kalau KUHP tidak melibatkan partisipasi publik sebagai hoaks.

Ia menilai, proses penyusunan KUHP sangat tidak mungkin terburu-buru karena pembahasan saja sudah dimulai sejak 1998 saat reformasi terjadi di Indonesia. Serta, sudah melibatkan tokoh masyarakat sampai perwakilan masyarakat sipil.

"Sejak awal Agustus-November itu kami aktif berdialog dengan publik, tokoh masyarakat, semua kita ajak dialog. Ke berbagai kota di Indonesia boleh dikatakan sudah mencakup 34 provinsi," kata Eddy.

Setelah itu, Eddy menekankan, mereka membuat draft yang sudah berisikan isu-isu krusial dan menjadi perhatian selama dialog-dialog dilakukan. Draft dari yang berisi 14 isu, terdapat 69 item perubahan berasal dari masukan dialog publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement