Rabu 14 Dec 2022 15:14 WIB

KUHP Baru Dibuat untuk Indonesia Bukan untuk Barat

Cara berpikir condong ke Barat dinilai sebabkan penolakan KUHP baru.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, KUHP yang baru dirancang khusus untuk Indonesia bukan negara lain.
Foto: DPR RI
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, KUHP yang baru dirancang khusus untuk Indonesia bukan negara lain.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KUHP baru masih terus memicu pro dan kontra. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan, banyak orang yang berpendidikan hukum barat memang diajari hukum yang berlatar barat, termasuk filsafat hukum barat.

Ia menilai, itulah yang membuat cara berpikir banyak orang saat ini menggunakan cara berpikir hukum barat. Arsul Sani sendiri, setelah tamat dari Universitas Indonesia (UI), turut melanjutkan pendidikan di Australia dan di Skotlandia.

Baca Juga

Dari sana, ia mengakui, memang memiliki cara berpikir yang diajari seperti hukum berat. Yang mana, lanjut Arsul, memiliki paradigma utama negara tidak boleh masuk ke ruang privat warga negara atau akan melanggar hak asasi manusia.

"Tapi, kita sedang membuat KUHP yang khusus untuk Indonesia. Bukan berlaku untuk seluruh dunia atau dunia barat," kata Arsul dalam seminar yang diselenggarakan Fraksi PPP DPR RI di , Rabu (14/12/2022).

 

Ia mengingatkan, kontrak sosial bernegara orang Indonesia dengan kontrak sosial bernegara orang Prancis, Inggris atau negara-negara lain memang berbeda. Paling gampang tentu melihat UUD 45 yang konteksnya persis seperti apa harus dipahami.

Maka itu, Arsul menyarankan untuk membaca lagi risalah-risalah atau rapat-rapat seperti dalam Sidang BPUPKI. Ia menekankan, negara-negara seperti Prancis atau Jerman tidak ada konstitusi negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam proses penyusunan, Arsul menuturkan, andai pasal-pasal seperti kesusilaan atau kohabitasi dihilangkan tentu partai-partai Islam akan meminta voting. Ia menilai, walaupun kalah, setidaknya menunjukkan perjuangan kepada konstituen.

Tapi, ia mengaku bersyukur, partai-partai nasionalis bisa menerima argumentasi. Itupun, Arsul memahami, berbagai kelompok umat Islam tidak puas seperti zina yang masuk delik aduan bukan biasa atau kohabitasi yang masuk aduan bukan biasa.

Undang-Undang (UU), lanjut Arsul, memang produk hukum. Tapi, prosesnya boleh dibilang politik karena DPR sendiri memang lembaga politik. Meski begitu, ia menekankan, ketika kita tidak bisa memperjuangkan semua, jangan pula lari dari semua.

"Jauh memang atau tidak sempurna, kalau ukurannya syariat Islam, Tapi, kan kita sepakati negara ini bukan negara Islam dan bukan negara sekuler. Maka itu, kita ambil jalan tengah," ujar Arsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement