REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Thailand diselimuti duka mendalam. Ibu Suri Sirikit yang melahirkan raja Vajiralongkorn, sosok yang selama puluhan tahun menjadi sumber kasih, keanggunan, dan pengabdian bagi rakyatnya, wafat pada usia 93 tahun.
Ia meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Bangkok, Jumat pagi, setelah berjuang melawan infeksi darah sejak pertengahan Oktober. Biro Rumah Tangga Kerajaan menyampaikan bahwa meskipun tim medis telah berupaya keras, kondisi beliau tak kunjung membaik.
Kesehatan Sirikit memang menurun sejak ia mengalami stroke pada 2012. Sejak saat itu, sosoknya jarang terlihat di hadapan publik, meski namanya tetap terpatri di hati rakyat. Suaminya, Raja Bhumibol Adulyadej, yang dikenal sebagai simbol moral dan persatuan Thailand, telah berpulang pada 2016. Kini, keduanya kembali bersatu, meninggalkan bangsa yang mereka cintai dalam kenangan dan penghormatan, sebagaimana diberitakan Asharq al Awsath pada Sabtu (25/10/2025).
Sejak kabar duka itu tersebar, ribuan pelayat berdatangan ke Rumah Sakit Chulalongkorn, membawa bunga dan air mata. “Ini kehilangan besar bagi seluruh bangsa,” ujar Maneerat Laowalert, seorang warga Bangkok berusia 67 tahun. “Saat mendengar kabar pukul empat pagi, rasanya dunia berhenti berputar.” Ucapan itu mencerminkan kesedihan kolektif rakyat Thailand, yang selama ini menganggap Ibu Suri bukan sekadar ratu, tetapi ibu bangsa.
Sirikit dikenal luas karena dedikasinya terhadap rakyat kecil. Selama hidupnya, ia mengawasi ratusan proyek kerajaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, melestarikan kerajinan tradisional, dan melindungi lingkungan. Potret dirinya terpajang di rumah-rumah, kantor, hingga gedung publik di seluruh negeri. Bahkan hari ulang tahunnya, 12 Agustus, ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional di Thailand, simbol penghargaan atas kasih dan pengabdiannya.
Lahir pada 12 Agustus 1932 di Bangkok dari keluarga bangsawan, Sirikit tumbuh di masa pergolakan politik ketika monarki absolut berganti menjadi konstitusional. Masa mudanya diwarnai suasana perang dan pengasingan diplomatik ayahnya di Prancis. Di sanalah, di usia 16 tahun, ia bertemu dengan Raja Bhumibol muda. Cinta mereka tumbuh perlahan, bersemi di tengah masa pemulihan sang raja dari kecelakaan di Lausanne, Swiss.