REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Hukam Imipas) menyatakan, Indonesia tidak anti terhadap penjatuhan hukuman mati. Tetapi, pemerintah ingin memberikan kesempatan terhadap para terpidana maksimal itu untuk bertaubat menghindari eksekusi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang mulai berlaku 2026 mendatang, juga memberikan jalan penyesalan bagi para terpidana mati. Termasuk terhadap para koruptor yang selama ini didesak untuk dijatuhi hukuman cabut nyawa.
Karena itu, Yusril mendukung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang berkali-kali menyampaikan sikap politik hukum di Indonesia, menjauhkan pemidanaan mati. “Itulah maksud dari Presiden Prabowo Subianto, sebagai presiden, beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap napi mana saja dan kasus apa saja,” kata Yusril, Rabu (9/4/2025).
Yusril menilai, politik hukum yang dianut Presiden Prabowo yang menolak pidana mati, pun selaras dengan tujuan KUHP Nasional. Dalam KUHP Nasional memang masih menebalkan pengancaman pidana mati. Tetapi dalam praktiknya kelak, eksekusi pidana mati tak serta merta dilaksanakan.
Sebab, kata Yusril, KUHP 2026 menebalkan pidana mati harus dilaksanakan setelah terpidana menjalani percobaan selama 10 tahun di pemenjaraan. Percobaan selama satu dasawarsa tersebut, merupakan kesempatan bagi terpidana mati untuk mengevaluasi diri atas perbuatannya.
“Dalam KUHP Nasional, hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan. Terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah taubatan nasuha. Dalam arti, sangat menyesali perbuatannya atau tidak,” ujar Yusril.
Kata dia, jika evaluasi tersebut berujung pada penilaian yang positif, hukuman bagi terpidana mati dapat berubah menjadi hukuman pidana seumur hidup. “Ketentuan ini, berlaku bagi seluruh narapidana mati WNI (warga negara Indonesia), maupun WNA (warga negara asing),” ujar Yusril.
Lalu bagaimana dengan nasib para terpidana mati yang selama ini sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, namun mengacu pada dasar KUHP lama? Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam sekali kesempatan, pernah menyampaikan saat ini tercatat sekitar 300-an narapidana hukuman mati yang kini tak bisa dieksekusi.