REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaturan tindakan menyebarkan berita bohong dengan memakai sarana teknologi informasi yang menyebabkan munculnya kerusuhan di masyarakat ternyata menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE. Hal itu merujuk norma Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "kerusuhan" adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber. Permohonan pengujian materi UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK) diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar.
"Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk keributan/kerusuhan yang terjadi di ruang digital/siber," kata Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membacakan pertimbangan hukum dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo pada Selasa (29/4/2025).
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan pembatasan tersebut telah sejalan pula dengan Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023. Oleh karena itu, aparat penegak hukum hanya dapat melakukan proses hukum terhadap penyebaran berita bohong yang menimbulkan keributan/kerusuhan secara fisik yang terjadi di masyarakat.
Hal itu bertujuan supaya penerapan Pasal 28 ayat (3) UU ITE yang merupakan delik materiil lebih menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang telah memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta.
Berdasarkan uraian tersebut, norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE ternyata tidak memberikan kepastian hukum, jaminan kebebasan berekspresi atau berpendapat, serta memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon.
"Namun, oleh karena pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon, dalil pemohon sepanjang norma Pasal 28 ayat (3) UU 302 1/2024 dan Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 beralasan menurut hukum untuk sebagian," ucap Arsul.