Rabu 21 Sep 2022 12:06 WIB

KPK Serahkan Berkas Tersangka Korupsi Helikopter AW-101 ke Kejakgung

Kasus korupsi pengadaan helikopter untuk TNI AU merugikan negara Rp 224 miliar.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (10/8/2022).
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (10/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan barang bukti dan tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI Angkatan Udara ke Kejaksaan Agung (Kejakgung). Kasus itu bergulir sejak era Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

"Tim jaksa, Selasa (20/9), telah menerima penyerahan tersangka dan barang bukti dari tim penyidik untuk tersangka IKS alias JIK (Jhon Irfan Kenway), karena kelengkapan isi berkas perkara dari hasil pemeriksaan tim jaksa terpenuhi dan tercukupi untuk syarat formal dan materielnya," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (21/9/2022).

Tersangka Irfan Kurnia Saleh merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG). Ali menjelaskan, penahanan tersangka Irfan tetap dilanjutkan oleh tim jaksa selama 20 hari, terhitung sejak 20 September sampai 9 Oktober 2022 di Rutan KPK, yaitu Gedung Merah Putih KPK.

"Pelimpahan berkas perkara dan surat dakwaan segera dilaksanakan tim jaksa dalam waktu 14 hari kerja ke pengadilan tipikor," tambahnya. KPK telah menahan Irfan pada 24 Mei 2022 usai ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2017.

Dalam konstruksi perkara, pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), salah satu pegawai perusahaan AW, menemui Marsda Mohammad Syafei (MS) yang saat itu menjabat sebagai Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kepala TNI AU (KSAU) di Markas Besar TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur. Adapun KSAU dijabat Marsekal Agus Supriatna.

Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU. Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada dalam konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP, yang kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP (khusus helikopter angkut kepresidenan).

Tersangka Irfan Kurnia Saleh, yang juga salah satu agen AW, diduga memberikan penawaran  kepada Marsda Mohammad Syafei dengan mencantumkan harga satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS. Sedangkan harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp 514,5 miliar).

Selanjutnya, pada November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek. Hal itu tertunda karena ada arahan dari pemerintah untuk menunda pengadaan tersebut karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional.

Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti dua perusahaan.

Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan 

Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran pada 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui pejabat pembuat komitmen (PPK). Irfan juga diduga aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy (FA) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).

Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, Irfan diduga menyiapkan dan mengkondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti proses lelang dan disetujui PPK. Irfan juga diduga telah menerima 100 persen pembayaran.

Faktanya, ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda. KPK menduga perbuatan tersangka Irfan mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement