REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah tudingan kuasa hukum terdakwa terkait menerima pesanan dalam mengusut perkara pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU. Lembaga antirasuah tersebut memastikan bahwa penanganan kasus itu dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku.
"Kami tidak terpengaruh dengan tuduhan semacam itu. Hal ini sudah biasa. Namun, kami memastikan seluruh proses penegakan hukum di KPK tidak lepas dari aturan hukum yang harus ditegakkan dan semuanya dapat terukur dan diuji secara terbuka," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri di Jakarta, Selasa (7/1/2023).
Ali mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan pernyataan yang disampaikan oleh Pahrozi selaku kuasa hukum terdakwa tunggal kasus tersebut, Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway. Pasalnya, tuduhan itu berada diluar konteks yuridis.
Baca: Kuasa Hukum Tuding KPK dan Jenderal Gatot Terima 'Pesanan' Kasus Heli AW-101
"Kami memberikan kesempatan yang sama pada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis, namun bukan dengan cara serampangan membangun narasi kontraproduktif dengan penegakan hukum itu sendiri," ujar Ali.
Sebelumnya diberitakan, KPK dituding menerima pesanan dalam menindaklanjuti kasus pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU. Pasalnya, KPK terus memaksakan memproses kasus itu, meski proses pemeriksaan di internal TNI sudah menghentikannya.
Tuduhan tersebut disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa tunggal kasus helikopter AW-101, John Irfan Kenway, Pahrozi dalam sidang pembacaan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (6/2/2023). Pahrozi menyebut ada kecurigaan, KPK dalam memproses kasus pengadaan helikopter AW-101 tidak bekerja profesional.
"KPK bekerja tidak lain karena ada suatu pesanan dari pihak-pihak tertentu. Kami memang tidak dapat menunjuk pihak-pihak tertentu yang mengendalikan KPK tersebut, tetapi kami merasakan hal itu sebagaimana fakta-fakta hukum," kata Pahrozi dalam persidangan itu.
Pahrozi merujuk salah satu fakta di persidangan, pernyataan eks Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal kerugian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 tidak didasarkan kegiatan investigasi/wasriksus (pengawasan dan pemeriksaan khusus). Dia menyebut hanya ada nomor surat wasriksus, namun tidak ada hasil pemeriksaannya, serta dilakukan pada saat kontrak masih berjalan.
"Ini permufakatan jahat untuk mengkriminalisasi terdakwa serta prajurit dan institusi TNI AU. Maka secara tidak langsung menggambarkan bahwa oknum KPK dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo ingin coba-coba tidak memperdulikan hukum yang berlaku," ujar Pahrozi.
Pahrozi juga mengingatkan, perkara itu sudah dihentikan penyidikannya oleh Papera (Perwira Penyerah Perkara) TNI AU. Ia menyebutkan, helikopter AW-101 sudah menjadi barang milik negara (BMN) dengan masuk dalam Laporan Keuangan (LK) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) atau TNI 2019.
Saat ini, helikopter AW-101 sedang dilakukan pemeliharaan dan perawatan oleh Kemenhan. "KPK dengan ego sektoralnya tetap melakukan proses hukum terhadap terdakwa dan artinya pula KPK sedang merendahkan marwah dan martabat TNI karena tidak mengindahkan penghentian penyidikan oleh Papera tersebut," ucap Pahrozi.
JPU KPK menuntut Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM), Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway dengan hukuman penjara 15 tahun. Irfan dituntut bersalah dalam kasus pengadaan heli angkut AW-101 untuk TNI AU.
Hal tersebut terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pada Senin (30/1). Selain hukuman penjara, Irfan turut dituntut dengan hukuman denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 177 miliar.
Flori sidebang