Rabu 18 Jan 2023 15:42 WIB

Hakim Bingung TNI AU tidak Tahu Pengadaan Helikopter AW-101

Kronologi pengadaan dan penyelewengan pembelian Heli AW-101 terungkap di sidang.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Kasus korupsi pengadaan Heli AW-101 yang melibatkan eks KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriyatna.
Foto: infografis republika
Kasus korupsi pengadaan Heli AW-101 yang melibatkan eks KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriyatna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim bertanya-tanya terkait pengadaan Helikopter AgustaWestland (AW)-101 oleh Markas Besar Angkata Udara (Mabesau). Pasalnya, Heli AW-101 mulanya disiapkan untuk kendaraan VVIP, tapi belakangan berubah menjadi kendaraan angkut berat.

Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa, salah satu hakim anggota mendalami soal berita acara pemeriksaan (BAP) terdakwa sekaligus Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh. Hakim menyinggung keterangan Irfan yang mengungkap TNI AU mulanya tak mengetahui pengadaan itu dipesan untuk heli VVIP.

"Saudara menerangkan beberapa hal, antara lain satu, bahwa helikopter AW-101 yang saya sediakan tersebut diproduksi oleh pabrik AgustaWestland memang dari awal dirakit oleh pabrikan untuk pesanan TNI AU melalui PT DJM dirakit untuk VVIP. Lalu kemudian di nomor tiga, TNI AU selaku pengada barang dan jasa tidak mengetahui bahwa helikopter angkut AW-101 adalah helikopter yang awalnya dipesan untuk helikopter VVIP?" tanya hakim anggota dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu (18/1/2023).

Irfan mengakui, keterangan yang dibacakan hakim anggota itu. Dia menyadari, TNI AU tak tahu terkait pengadaan helikopter mulanya untuk VVIP. Hakim lantas bingung karena mestinya spesifikasi heli tercantum dalam kontrak pengadaan barang dan jasa.

"Di kontrak sebelumnya apakah saudara menginformasikan sebagai pengada dan jasa semestinya mengetahui persis, apa yang diinginkan di dalam kontrak itu?" tanya hakim.

"Saya ulangi Yang Mulia, bahwa TNI AU tidak tahu bahwa itu helikopter yang saya pesan pertama dulu karena waktu saya mau order itu tidak ada yang tahu bahwa saya mau order helikopter VVIP, tapi helikopter kan belum diproduksi secara menyeluruh," jawab Irfan.

Selain itu, hakim mencecar terkait perbedaan spesifikasi heli yang telah diterima TNI AU tersebut. Pada kontrak disebutkan heli AW-101 memang mempunyai cargo door. Irfan berkelit tak mengetahui soal masuknya komponen cargo door itu. "Bahwa sesungguhnya di dalam perjanjian itu sendiri seharusnya ada cargo emergency?" tanya hakim.

"Bahwa disetujui helikopternya itu adalah yang cepat datang yang cepat datang adalah tanpa cargo door. Kemudian di kontrak keluar ada cargo door itu mungkin saya tidak baca lagi dan siapa yang taruh di dalam dokumen kontrak ada cargo door saya juga kurang paham," jawab Irfan.

Kasus itu bermula dari TNI AU yang mendapat tambahan anggaran Rp 1,5 triliun. Adapun  salah satu peruntukkannya ditujukan untuk pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden senilai Rp 742 miliar pada 2015.

Irfan sempat beberapa kali memaparkan produk AW di hadapan petinggi TNI AU. Sehingga Irfan diminta almarhum Marsda (Purn) Mohammad Syafei selaku Asrena KSAU membuat proposal harga dari helikopter angkut AW-101.

Namun Irfan menyarankan pihak TNI AU membuat surat ke perusahaan AW. Belakangan, Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products, Lorenzo Pariani dan Irfan memberikan proposal itu kepada Syafei.

Syafei menanyakan, AW untuk bisa menghadirkan helikopter VIP/VVIP AW 101 untuk diterbangkan pada 9 April 2016 saat HUT ke-70 TNI AU. Atas permintaan tersebut, Irfan menghubungi Lorenzo agar bisa menyanggupinya.

Pada 14 Oktober 2015, Irfan langsung memesan satu unit heli AW-101 setelah mengetahui TNI AU membutuhkannya untuk ditampilkan pada HUT ke-70 TNI AU. Padahal jenis heli yang dipesan merupakan sesuai konfigurasi VVIP pesanan Angkatan Udara India. Bahkan Irfan sudah membayar uang tanda jadi senilai Rp 13 miliar kepada AW.

Bukannya untung, Irfan nyaris saja buntung. Sebab, Presiden Jokowi mengarahkan agar kebutuhan heli AW-101 diitung ulang. Akibatnya, anggaran terkait pengadaan helikopter VIP/VVIP RI-1 diblokir. Atas dasar itu dana pembelian helikopter Rp 742 miliar tak bisa dicairkan.

Namun mantan KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna melalui Asrena KSAU periode 2015-Februari 2017, Marsda (Purn) Supriyanto Basuki yang menggantikan Syafei mengirim surat kepada Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Isinya perubahan kegiatan pengadaan dari helikopter VVIP RI-1 menjadi helikopter angkut berat.

Hal itu disebut upaya agar Irfan tetap menjadi penyedia barang helikopter buatan AW.  Selanjutnya, spesifikasi teknis helikopter AW-101 yang memang ditujukan untuk VVIP justru diubah spesifikasinya menjadi helikopter angkut yang akan diadakan oleh TNI AU.

Padahal spesifikasi teknis helikopter angkut AW-101 seri 500 dengan konfigurasi misi angkut berbeda dari spesifikasi teknis helikopter AW-101 seri 600 dengan konfigurasi VVIP.

Irfan didakwa salah satunya memperkaya eks KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna lewat dana komando sebesar Rp 17,7 miliar.

Sehingga Irfan didakwa melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement