Kamis 23 Feb 2023 05:45 WIB

Jaksa KPK Tanggapi Santai Belum Bisa Jerat Eks KSAU Agus Supriatna

Terdakwa tunggal kasus helikopter AW-101, John Irfan Kenway divonis 10 tahun penjara.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Helikopter Agusta Westland (AW)-101 ditempatkan di Hanggar Skadron Teknik 021 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (24/8).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Helikopter Agusta Westland (AW)-101 ditempatkan di Hanggar Skadron Teknik 021 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (24/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menanggapi santai perihal pejabat TNI AU aktif ataupun purnawirawan yang lolos dari jerat hukum kasus pengadaan helikopter AW-101 tahun pengadaan 2016. Kasus itu hanya berhasil membuat Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway sebagai terdakwa tunggal selaku pemenang tender.

Jaksa KPK dalam kasus korupsi pembelian helikopter AW-101, Arif Suhermanto mengatakan, pihaknya masih akan mendalami putusan lengkap hakim. Setelah itu, KPK baru bisa mengambil sikap berikutnya.

"Kami tunggu putusan lengkap. Kami ingin tahu pertimbangan utuhnya. Kami akan sikapi nanti. Kami masih ada waktu pikir-pikir tujuh hari," kata Arif usai pembacaan vonis terhadap Irfan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/2/2023).

Arif meyakini, kasus itu bisa diproses hukum tanpa melibatkan penyelenggara negara. Asalkan, sambung dia, terdakwanya terbukti menerima dana dari negara. Sehingga KPK tak kunjung menyeret terdakwa dari penyelenggara negara.

"Unsur Pasal 2 (UU Tipikor) itu kan setiap orang, tidak harus penyelenggara negara. Jadi siapa pun yang menerima dana dari negara baik orang biasa, PNS, penyelenggara negara itu jadi subjek hukum," ucap Irfan.

Arif juga menyebut, majelis hakim sebenarnya sudah mengakui adanya dana komando (dako) yang mengalir ke prajurit dan purnawirawan TNI. Sehingga, ia mensinyalkan peluang untuk dapat mengembangkan lagi kasus itu menjerat pejabat TNI AU yang terlibat pengadaan helikopter AW-101.

"Itu tadi terkait dana komando Rp 17 miliar ternyata ada dan juga unsur 55 (KUHP) sama dengan tuntutan JPU. Unsur 55 disebutkan siapa yang turut serta melakukan dalam perkara ini, yang saling bekerja sama," ujar Arif.

Walau demikian, Arif berkelit soal nama prajurit dan purnawirawan TNI AU serta pegawai PT DJM yang tak kunjung bersaksi di persidangan.

Mereka adalah mantan Kepala Staf Angkatan udara (KSAU) periode 2015-2017 Marsekal (Purn) Agus Supriatna, Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAU (2015-Februari 2017) Marsda (Purn) Supriyanto Basuki, Kepala pemegang Kas Mabes TNI AU (2015-Februari 2017) Wisnu Wicaksono, dan Kaur Yar Kepala Pemegang Kas Mabes TNI AU Joko Sulistiyanto.

Selain itu, eks Sekretaris Dinas Pengadaan Angkatan Udara Fransiskus Teguh Santos, mantan Kepala Dinas Pengadaan AU Heribertus Hendi Haryoko, dan ada saksi dari kalangan sipil yang juga tidak hadir atas nama Angga Munggaran selaku Staf Bagian Keuangan PT Diratama Jaya Mandiri.

"Kita sudah panggil yang bersangkutan (Agus Supriatna) berkali-kali bahkan lewat penasihat hukumnya, tapi belum menemukan yang bersangkutan," ucap Arif.

Terdakwa tunggal John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh divonis hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar dalam kasus itu. Irfan juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 17,22 miliar.

Vonis terhadap John Irfan Kenway lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yaitu pidana penjara selama 15 tahun. Vonis uang pengganti juga jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu Rp177 miliar.

John Irfan Kenway divonis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement