Jumat 12 Aug 2022 15:23 WIB

Wakil Ketua Fraksi PKS Tolak Wacana Dwifungsi TNI

Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menolak wacana adanya dwi fungsi TNI kembali.

Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menolak wacana adanya dwi fungsi TNI kembali.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menolak wacana adanya dwi fungsi TNI kembali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta menolak wacana penempatan tentara aktif di jabatan sipil (dwi fungsi TNI), yang muncul ketika revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022.

"Wacana kembalinya dwi fungsi TNI bukan latar belakang revisi UU TNI, namun revisi tersebut sebagai upaya perbaikan TNI dan peningkatan pola koordinasi, pembagian tugas yang jelas antara TNI dan Polri," kata Sukamta di Jakarta, Jumat (12/8/2022).

Baca Juga

Anggota Komisi I DPR RI ini mengatakan, revisi UU TNI juga bertujuan untuk memperjelas tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dengan tujuannya untuk memperkuat pertahanan dan keamanan Indonesia.

Menurut dia, permasalahan terkait menumpuknya ratusan Perwira TNI merupakan masalah lama dalam tata kelola manajemen perencanaan TNI yang belum optimal akibatnya banyak yang tidak mendapatkan jabatan.

"Salah satunya jumlah rekrutmen sekolah staf dan komando militer di tiga matra tidak didasarkan pada kebutuhan dan rencana penempatan. Apalagi saat ini batas atas pensiun menjadi 58 tahun akibatnya semakin menambah jumlah perwira TNI aktif," ujarnya.

Padahal dia menilai, jumlah jabatan khusus TNI yang disediakan pemerintah hanya sekitar 60 sehingga perlu perbaikan manajemen dan tata kelola perencanaan TNI yang harus dilakukan dengan baik.

Dia menjelaskan, ada masalah yang akan timbul ketika TNI kembali lagi menjabat di jabatan sipil yaitu bisa mengembalikan dwi fungsi TNI zaman orde baru yang menimbulkan banyak masalah.

Pertama menurut dia, jabatan publik harus didasarkan pada kompetensi teknis ataupun keilmuan bukan bagi-bagi jabatan. Kedua, budaya demokrasi dan profesional dalam lembaga publik akan berubah menjadi militeristik karena tentara terbiasa dengan sistem komando akibatnya kritik atau saran dari masyarakat dan perbaikan terhambat.

"Ketiga, pola hubungan senior dengan junior menghambat akuntabilitas dan transparansi lembaga dan pejabat publik," ujarnya.

Sukamta menilai, jika tentara ingin masuk ke lembaga pemerintah maka harus mengundurkan diri atau sudah pensiun. Karena itu menurut dia, tentara bisa mengikuti seleksi terbuka jabatan publik sehingga tidak ada konflik kepentingan dan benar-benar di uji kompetensinya bersaing dengan masyarakat sipil.

"Dasarnya kompetensi bukan dengan bagi-bagi jabatan yang bisa merugikan publik," katanya.

Dia mengingatkan sejarah orde baru dan kejadian beberapa waktu lalu ketika Ombudsman RI sudah menyatakan bahwa penunjukan perwira TNI sebagai pejabat kepala daerah menyalahi UU TNI dan UU Aparatur Sipil Negara.

Selain itu menurut dia, wacana penempatan TNI di jabatan sipil melanggar TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Dalam TAP MPR itu disebutkan peran TNI sebagai alat pertahanan untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan negara Indonesia dari berbagai ancaman dari luar dan dalam negeri. Serta menjaga kesatuan wilayah dan keselamatan bangsa," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement