REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan kasus Brigadir J yang melibatkan Irjen Pol Ferdy Sambo (FS) sebagai tersangka menunjukkan secara gamblang bahwa akuntabilitas di tubuh kepolisian masih jauh dari ideal. karena itu Amnesty Internasional Indonesia berharap kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) ini harus menjadi momen penguatan akuntabilitas kepolisian.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan dalam kasus penembakan Brigadir J ini banyak terkuak fakta yang mengejutkan publik. Salah satu yang jadi sorotan adalah skenario tembak menembak yang ternyata dibongkar oleh Bharada E bahwa itu hanya rekayasa dari FS.
“Kami mengapresiasi keterbukaan dan upaya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, yang harus menjadi pertanyaan adalah bagaimana keterangan yang awalnya diberikan oleh pihak kepolisian bisa begitu jauh dari fakta dan membuat Irjen Ferdy Sambo malah terlihat sebagai korban,” kata Wirya dalam keterangannya, Kamis (11/8/2022).
Ia menilai kultur yang terlihat cenderung membela sesama polisi dan melanggengkan impunitas ini harus menjadi perhatian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam kasus ini, ada kemungkinan polisi menembak sesama polisi, sehingga perhatian publik sangat besar.
"Tapi Amnesty mencatat banyak kasus dugaan kekerasan polisi lainnya yang dilakukan terhadap warga, yang belum mendapatkan penyelesaian yang transparan dan akuntabel seperti dalam kasus ini," terangnya.
Ia memberi contoh, di Papua misalnya, dari 2018-2022, kami mencatat ada setidaknya 38 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian maupun aparat gabungan TNI/Polri, dengan total 60 korban meninggal.
Hanya sedikit sekali dari kasus ini yang hasil investigasinya terbuka terhadap publik, dan hanya sedikit dari itu yang berlanjut ke pengadilan. Selain itu, ungkap dia, Amnesty juga mencatat banyak dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian.
Selama rangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law pada bulan Oktober 2020, Amnesty mendokumentasikan ada setidaknya 402 kasus kekerasan polisi di 15 provinsi. Dalam kasus-kasus ini pun tidak terlihat ada langkah-langkah yang diambil untuk mencegah berulangnya kejadian serupa.
“Kapolri harus menyadari bahwa masalahnya lebih luas daripada satu kasus Brigadir J ini saja. Kami mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap kepolisian untuk mencari akar dari bagaimana pengaburan fakta seperti ini bisa terjadi dan mengambil langkah sistematis untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi," tegasnya.
Amnesty juga berharap Kapolri bisa meninjau ulang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota polisi dan memastikan bahwa kasus-kasus tersebut juga diselesaikan secara transparan dan akuntabel.
Sebab sudah terlihat dari kasus ini bahwa akuntabilitas kepolisian lebih penting untuk melindungi semua pihak, baik polisi maupun masyarakat umum. “Kami juga mendesak DPR untuk meminta pertanggungjawaban Polri, tidak hanya atas kasus ini, tapi juga kasus-kasus kekerasan lainnya yang melibatkan polisi," jelasnya.
Bagaimanapun, pelaku kekerasan, baik anggota kepolisian maupun tidak, harus dibawa ke pengadilan. Dan di dalam persidangan semua pihak diberlakukan sama dimuka hukum, fair trial dan tidak berakhir dengan penerapan hukuman mati.
Sebelumnya, dalam jumpa pers pada 9 Agustus, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo mengumumkan bahwa Irjen Ferdy Sambo telah menjadi tersangka dalam kasus penembakan Brigadir J. Kapolri juga mengungkapkan, hal yang berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh kepolisian sebelumnya.
Dimana dalam TKP tidak ada baku tembak antara Brigadir J dan Bharada E. Sebaliknya, penembakan hanya terjadi satu arah di mana Ferdy Sambo memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J.