Sabtu 16 Jul 2022 05:04 WIB

Jumlah Penduduk Miskin Secara Nasional Menurun, Mengapa di Jakarta Meningkat?

Menurut BPS, penurunan jumlah penduduk miskin dampak dari pemulihan ekonomi.

Anak-anak bermain di rel kereta api di api di kawasan Pejompongan, Jakarta, Jumat (15/7/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2022 berjumlah 26,16 juta orang atau menurun 1,38 juta orang (0,60 persen) dibandingkan Maret 2021.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak Ahmad
Anak-anak bermain di rel kereta api di api di kawasan Pejompongan, Jakarta, Jumat (15/7/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2022 berjumlah 26,16 juta orang atau menurun 1,38 juta orang (0,60 persen) dibandingkan Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Deddy Darmawan Nasution, Antara

Jumlah penduduk miskin secara nasional menurun per Maret 2022 berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (15/7/202). Penurunan kemiskinan itu dinilai BPS sebagai dampak dari pemulihan ekonomi nasional yang masih terus berlanjut.

Baca Juga

Kepala BPS, Margo Yuwono memaparkan, garis kemiskinan pada Maret 2022 sebesar Rp 505.469 per kapita per bulan. Itu mengalami kenaikan 3,97 persen. Peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan komoditas bukan makanan.

Dengan tingkat garis kemiskinan itu, BPS mencatat, total jumlah penduduk miskin per Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang. Angka itu mengalami penurunan sekitar 340 ribu orang dari posisi September 2021 lalu dan turun 1,38 juta orang jika dibandingkan Maret 2021 lalu.

"Persentase penduduk miskin sebesar 9,54 persen, turun 0,17 persen poin dari September 2021 atau 0,6 persen poin terhadap Maret tahun lalu," kata Margo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.

Lebih lanjut, Margo memaparkan, penurunan kemiskinan terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Tingkat kemiskinan di kota pada Maret lalu sebesar 7,5 persen, atau turun dari posisi September 2021 yang sebesar 7,6 persen. Adapun di perdesaan, tingat kemiskinan mencapai 12,29 persen, turun dari sebelumnya 12,53 persen.

Meski begitu, Margo menuturkan, disparitas alias ketimpangan kemiskinan antara perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Namun, sejauh ini BPS menilai kecepatan penurunan kemiskinan di perdesaan lebih cepat dari perkotan.

"Tingkat kemiskinan di perdesaan sudah kembali ke level sebelum pandemi, sedangkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi," kata Margo.

Sementara itu, kedalaman dan keparahan kemiskinan juga tercatat menurun. Rara-rata Indeks Kedalamam Kemiskinan (P1) di perkotaan maupun perdesaan pada Maret 2021 tercatat 1,586 poin turun dari posisi September 2021 sebesar 1,668 poin.

Sementara itu Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) tercatat 0,401 poin, lebih rendah dari sebelumnya 0,418 poin.

Margo juga mengungkapkan, tingkat gini ratio per Maret 2022 mencapai 0,384 poin, naik dari posisi September 2021 sebesar 0,381 poin. Semakin tinggi nilai gini ratio maka semakin tinggi pula ketimpangan yang terjadi antar penduduk.

"Kemiskinan memang menurun dan terjadi di seluruh pulau, namun gini ratio menunjukkan arah berbeda," kata Margo.

Ia menuturkan, kenaikan gini ratio utamanya terjadi di perkotaan. Tercatat per Maret 2022, gini ratio perkotaan mencapai 0,403 poin naik dibandingkan September 2021 yang masih di level 0,398 poin.

Sementara itu, tingkat gini ratio di perkotaan cenderung bertahan di level 0,314 poin. "Jadi, gini ratio secara total mengalami peningkatan karena adanya pergerakan (kenaikan) gini ratio di perkotaan," katanya.

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah mengatakan, inflasi pangan dan energi menjadi titik persoalan yang bisa mempengaruhi angka kemiskinan ke depan. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan ditempuh Bank Indonesia dan bisa berdampak pada peningkatan pengeluaran modal pelaku usaha dalam berinvestasi.

Rusli menambahkan, untuk saat ini masyarakat perdesaan setidaknya lebih tahan terhadap tekanan inflasi pangan. Sebab, desa menjadi lumbung pangan sehingga harga-harga kebutuhan pokok cenderung lebih murah. Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan dengan mengalokasikan 40 persen Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

"Itu diwajibkan, jadi sudah ada langkah di desa. Hanya saja di kota belum ada (kebijakan)," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menilai tangan kenaikan harga-harga barang dipastikan menggerus daya beli masyarakat, khususnya lapisan bawah. Belum lagi jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi. 

Mobilitas masyarakat kemungkinan terus dilonggarkan seiring laju penularan Covid-19 yang terkendali. Langkah itu secara langsung memang akan meningkatkan upah masyarakat secara nominal. 

"Namun pendapatan secara riil kemungkinan stagnan karena harga-harga, oleh karena itu inflasi pangan yang harus menjadi fokus ke depan demi meneruskan pemulihan ekonomi," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement