Sabtu 25 Jun 2022 12:39 WIB

Dekat dengan Kiai dan Pesantren, Erick Thohir Difavoritkan Masyarakat Jatim Jadi Cawapres

Erick mampu melewati perolehan suara Khofifah dalam survei Poltracking.

Menteri BUMN, Erick Thohir saat mengunjungi Pondok Pesantren Queen Al-Azhar Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ulum, Jombang
Foto: Dok BUMN
Menteri BUMN, Erick Thohir saat mengunjungi Pondok Pesantren Queen Al-Azhar Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ulum, Jombang

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Poltracking Indonesia mengeluarkan hasil survei terbaru capres dan cawapres yang diminati masyarakat di Jawa Timur (Jatim). Dari survei tersebut yang cukup membuat perhatian publik adalah kandidat cawapres pilihan warga Jatim, karena tanpa diduga Menteri Erick Thohir menempati urutan teratas (14,2%) untuk kandidat cawapres pilihan warga Jatim (simulasi 15 calon).

Tak hanya itu, kepopuleran Menteri Erick mampu 'menyalip' Khofifah Indar Parawansa yang saat ini menjabat Gubernur Jatim dan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama. Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Ucu Martanto, Poltracking Indonesia merupakan salah satu lembaga survei politik yang kredibel, sehingga hasil yang disajikannya dapat mencerminkan mayoritas pilihan masyarakat di Jatim.

Tentunya, menurut dia, termasuk hasil survei capres favorit yang dikeluarkan Poltracking Indonesia. Poltracking Indonesia masih menempatkan Ganjar Pranowo sebagai capres favorit (32.3%) bagi masyarakat Jatim. Setelah itu disusul Prabowo Subianto (32.3%) dan Anies Baswedan (12.8%).

Selain figur yang bersahaja dan exposure yang gencar di media konvensiona maupun sosial media, Ucu menduga tingginya elektabilitas Ganjar di Jatim tak lepas dari figur Gubernur Jawa Tengah (Jateng) tersebut yang merupakan kader PDIP. Saat ini Jatim dan Jateng masih menjadi kantung suara PDIP.

Sedangkan tingginya kepopuleran Erick sebagai cawapres di Jatim dinilai karena exposure kegiatan Menteri BUMN yang cukup agresif baik di media konvensional maupun sosial media. Terlebih lagi saat ini Erick sangat intens menjalin silaturahim dengan pesantren dan kyai karismatik di Jatim.

"Langkah yang dilakukan Menteri Erick untuk dekat dengan pesantren dan kyai menurut saya sangat efektif mengangkat kepopuleran beliau di masyarakat Jatim. Padahal dia bukan berasal dari etnis Jawa dan bukan kader Nahdlatul Ulama," kata Ucu.

Langkah yang dilakukan Erick ini berbanding terbalik dengan Puan Maharani. Meski sudah gencar melakukan 'serangan udara', menebar banyak baliho dan memperbanyak exposure di media, namun di mata Ucu, elektabilitas ketua DPR tersebut sulit untuk meningkat. Memang sebagai kader PDIP Puan sangat dikenal masyarakat Jatim. Namun Ucu menilai itu semua tak cukup untuk memikat masyarakat Jatim memilihnya sebagai capres atau cawapres.

"Berdasarkan simulasi yang dilakukan Poltracking Indonesia, Puan yang dipasangkan dengan Prabowo Subianto malah membuat elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra tersebut melorot (19,4%). Angka ini jauh di bawah simulasi pasangan Ganjar Erick (38,1%). Justru Puan menjadi salah satu komponen yang menurunkan kepopuleran capres yang sudah sangat populer," kata Ucu.

Sejak pilpres dilakukan secara langsung tahun 2004, identitas partai yang melekat ke figur personal dinilai Ucu sudah tak memiliki pengaruh yang kuat untuk memenangkan capres dan cawapres. Saat ini masyarakat memilih capres cawapres berdasar figur personalnya yang sesuai dengan keinginannya.

"Kini parpol hanya bisa menjadi suplemen. Baik itu mengangkat atau menjatuhkan capres cawapres. Misalnya capres cawapres di dukung parpol yang kuat, kemungkinan untuk memenangkan pilpres di Jatim akan sangat besar. Namun sebaliknya jika capres cawapres tersebut didukung parpol yang tidak favorit di Jatim, suaranya akan berpotensi berkurang," ujar Ucu.

Masyarakat yang saat ini memilih sosok figur personal dinilai Ucu tidak bagus bagus untuk pembangunan demokrasi dan pendidikan politik di Indonesia. Idealnya capres cawapres harus menyatu dengan parpol. Tujuannya ketika ada masalah terjadi di masa kepemimpinannya, masyarkat dapat menyalurkan aspirasinya ke parpol.

Saat ini ada parpol yang mencari capres berdasarkan pragmatis. Tujuannya hanya untuk memenangkan pilpres. Akibatnya capres tersebut jauh dari kesamaan idiologi, pemikiran dan prespektif dalam melihat persoalan bangsa. Namun masih ada parpol yang mencari capres berdasarkan kesamaan idiologi.

"Partai yang mencari sosok capres secara pragmatis tidak baik bagi pendidikan demokrasi di Indonesia. Saat ini baik figur yang potensial damn parpol saling membutuhkan untuk dapat membangun demokrasi dan pendidikan politik di Indonesia," kata Ucu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement