REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan Laksamana Muda (Laksda) Purn AP, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan dan sewa satelit slot orbit 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) 2012-2021. Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) menetapkan mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan (Dirjen Kuathan) 2013-2016 itu sebagai tersangka bersama dua orang dari swasta, SCW dan AW.
SCW dan AW dikatakan sebagai Direktur Utama dan Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK). “Tiga tersangka, satu tersangka dari oknum prajurit TNI, yakni Laksamana Muda Purnawirawan AP dan dua tersangka orang swasta inisial SCW dan AW,” kata Direktur Penindakan Jampidmil, Brigjen Edy Imran saat konfrensi pers di Kejakgung di Jakarta, Rabu (15/6/2022).
Tak ada penjelasan dari Edy soal identitas lengkap para tersangka tersebut. Akan tetapi, mengacu pada jadwal pemeriksaan kasus tersebut saat dalam penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Laksamana Muda Purn AP, mengacu pada nama Agus Purwoto. Sedangkan SCW adalah Soerya Cipta Witoelar dan AW adalah Arifin Wiguna. Kedua nama swasta itu, pernah dicegah ke luar negeri oleh tim penyidikan di Gedung Bundar.
Edy menerangkan, penetapan tiga tersangka tersebut, hasil sementara dari empat bulan proses penyidikan dugaan korupsi pengadaan dan sewa satelit di Kemenhan. Dari rangkaian penyidikan yang dilakukan sejak Maret 2022, kata Edy, tim penyidik dari Jampidsus dan Polisi Militer (POM) TNI sudah melakukan pemeriksaan terhadap total 47 orang saksi. “Termasuk sudah memeriksa para tersangka saat menjadi saksi,” kata Edy.
Para saksi yang pernah diperiksa itu, sebanyak delapan anggota TNI aktif dan 10 purnawirawan. Dari kalangan sipil, pemeriksaan dilakukan terhadap 29 orang dan dua orang ahli.
Pemeriksaan para saksi tersebut juga melibatkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan auditor resmi yang menghitung kerugian negara dalam kasus tersebut. Dikatakan, dari penghitungan auditor, tercatat dugaan korupsi sewa dan pengadaan satelit di Kemenhan itu mencapai Rp 500,5 miliar.
Nilai kerugian tersebut ada dalam dua kategori. Kerugian negara terkait biaya sewa senilai Rp 483 miliar dan kerugian negara dalam biaya konsultasi pertahanan senilai Rp 20,2 miliar. “Sehingga, total kerugian negara dari penghitungan sebesar (Rp) 500,5 miliar,” ujar Edy.
Edy juga menjelaskan peran para tersangka dalam kasus yang terjadi selama periode 2012-2021 itu. Tersangka AP bersama SCW dan AW yang melakukan perencanaan dan pengadaan kontrak sewa satelit Artemis untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur.
Kontrak tersebut dilakukan dengan pihak Avante dengan PT DNK sebagai operator. Pengadaan kontrak sewa satelit tersebut merupakan bagian dari penguatan alat utama sistem persenjataan yang mengharuskan adanya keputusan dari Menteri Pertahanan (Menhan).
Dalam kasus ini, dikatakan Edy, AP selaku Dirjen Kuathan tak mendapatkan mandat atau keputusan dari Menhan terkait pengadaan tersebut. Sehingga dikatakan, Kemenhan selaku pengguna satelit tersebut pun tak pernah memutuskan siapa pihak penyedia jasa satelit dari luar negeri itu.
Dalam pengadaan satelit tersebut, juga dikatakan, tak dilakukan pembentukan tim evaluasi. Atas hal tersebut, satelit Artemis tak dapat memenuhi standar kebutuhan di Kemenhan dan TNI.
“Spesifikasi satelit Artemis yang disewa, tidak dapat difungsikan dan sama sekali tidak bermanfaat sehingga merugikan keuangan negara,” kata Edy.
Tim penyidikan sementara ini menjerat para tersangka dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU 31/1999-20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tim penyidik koneksitas juga menjerat para tersangka dengan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Namun begitu, Edy menjelaskan, ketiga tersangka, sementara ini tak dilakukan penahanan. Karena alasan para tersangka, selama ini kooperatif dalam menjalani pemeriksaan, dan pengungkapan kasus tersebut.