REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar Otonomi Daerah yang juga Pendiri Institute Otonomi Daerah (i-OTDA) Prof Djohermansyah Djohan mengingatkan agar rencana pemekaran Papua didasarkan dengan pertimbangan faktor teknis bukan politis. Menurutnya, sudah ada ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terkait persyaratan pemekaran daerah.
Yakni, meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, kemampuan mengelola keuangan dan juga potensi ekonomi di daerah tersebut. Djohermansyah mengungkap pengalaman hasil pemekaran daerah tidak bisa maju dan tak mampu mandiri karena pembentukannya didasarkan pertimbangan politis.
"Banyak ya bukan karena teknis pemerintahan yang baik dan memang layak dimekarkan daerah itu. Akhirnya banyak daerah otonom di Indonesia ini gagal," kata Djohermansyah, Rabu (16/3/2022).
Mantan direktur jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini mengaku, untuk Papua sendiri, jumlah penduduk belum masuk kategori, sedangkan luas wilayah sudah memenuhi persyaratan. Sementara untuk potensi ekonomi di Papua sudah memadai tetapi tidak bisa secara otomatis bisa langsung mendapatkan dana yang besar.
Terlebih, untuk Papua selama ini dialokasikan dana otonomi khusus yang diambil dari dua persen dana alokasi umum (DAU) nasional. Sehingga, jika provinsi baru akan dibentuk, memerlukan dana yg equivalen dengan provinsi lainnya. Selain itu, Djohermansyah juga menyoroti ketersediaan sumber daya birokrasi yang akan mengelola provinsi pemekaran Papua.
Menurutnya, hal ini tidak mudah karena tata kelola birokrasi di Papua termasuk yang terlemah di Indonesia. "Dari mana sumber SDM pegawai yang akan ditaruh, di empat provinsi itu, kan katanya akan ada empat provinsi di induk atau tiga di induk, ada Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah dan Papua barat itu ada Papua Baru kalau tidak salah Papua Barat Daya," kata Djohermansyah.
Ia melanjutkan, persoalan lainnya dalam rencana pemekaran Papua ini adalah kekhususan tanpa melalui daerah persiapan dan tak harus memenuhi syarat dasar maupun administratif. Norma yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang merupakan turunan Undang-undang Otonomi Khusus Papua ini pun bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dimana syarat menjadi daerah otonomi baru harus melalui daerah persiapan. Ia menjelaskan, tujuan dibuatnya daerah persiapan adalah untuk mengevaluasi apakah daerah tersebut sudah siap menjadi daerah otonomi baru (DOB). Sehingga dalam evaluasi layak menjadi DOB, maka statusnya ditetapkan dengan Undang-undang. Sebaliknya, jika dinilai tidak berhasil, maka akan digabung dengan provinsi sebelumnya.
Selama ini, menurutnya, banyak daerah lebih siap dimekarkan gagal setelah melalui daerah persiapan. Sedangkan untuk pemekaran Papua, pemerintah justru memberi kekhususan tanpa melalui persiapan.
"Makanya saya juga kaget tiba-tiba Papua nggak pakai daerah persiapan, nah itu pertimbangan, saya kira kuat sekali faktor politis ketimbang faktor teknis dan syarat pemerintahan yang baik," katanya.
Djohermansyah pun berharap tetap perlunya daerah persiapan dalam rencana pemekaran Papua. Apalagi, rencana pemekaran Papua saat ini juga masih mendapat pertentangan dari sejumlah elemen masyarakat di Papua.
"Jadi harus ditimbang dengan seksama, cermat baik baik. Kan ada pro kontra, lebih baik tetap ada daerah persiapan, jadi kalau gagal dan nggak berhasil atau tidak perform akan menjadi daerah biasa gabung lagi dengan provinsi induk," katanya.
Sebelumnya, rencana pemekaran Papua ini menuai prokontra ada yang mendukung dan menentangnya. Dalam beberapa waktu terakhir, aksi penolakan pemekaran Papua juga terjadi di beberapa wilayah yakni di Wamena, Jayapura, dan Paniai. Di Jakarta, aksi unjuk rasa menolak pemekaran di depan gedung Kemendagri pada Jumat (11/3/2022) berujung bentrok antara peserta aksi dan aparat.