Rabu 16 Feb 2022 17:54 WIB

Upaya Kemenhan Lolos dari Sanksi Denda Vendor Satelit

Kemenhan mengajukan gugatan ke PN Jakpus terhadap putusan arbitrase internasional.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Kemenhan baru-baru ini mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat untuk menghindari sanksi denda dari vendor pengadaan satelit Navayo International AG.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Kemenhan baru-baru ini mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat untuk menghindari sanksi denda dari vendor pengadaan satelit Navayo International AG.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Bambang Noroyono

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada Senin (31/1/2022) mendaftarkan gugatan putusan arbitrase internasional mengenai pengadaan satelit komunikasi pertahanan orbit bujur timur ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Gugatan tersebut dilayangkan terhadap dua vendor satelit, yaitu Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE Ltd. 

Baca Juga

Berdasarkan petitum gugatan, Kemenhan meminta majelis hakim mengabulkan dua gugatan pokok. Salah satunya, menyatakan penetapan putusan arbitrase internasional, putusan sela final dan putusan final pada 2014 tidak dapat dieksekusi, batal demi hukum. 

"Menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional – International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG tidak dapat diakui dan tidak dapat dilaksanakan," tulis petitum nomor 3 yang dikutip Republika dari situs resmi PN Jakpus pada Rabu (16/2/2022). 

Kemenhan optimistis, gugatan ini memiliki dasar yang jelas dan dapat diterima secara hukum. Langkah hukum ini diambil diduga menghindari kewajiban membayar denda kepada Navayo International dan Huhungan Export Credit Insurance PTE LTD.

"Menerima gugatan perlawanan pelawan untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa gugatan perlawanan pelawan adalah tepat dan beralasan," tulis petitum nomor 1.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengungkapkan bahwa ada dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan proyek Satelit di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015. Mahfud mengatakan, akibatnya negara mengalami kerugian mencapai ratusan miliar rupiah.

Mahfud menjelaskan, hal ini berawal saat Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur pada tanggal 19 Januari 2015. Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit.

Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain. Kemenhan ingin membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur.

Kemenhan pun meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika agar dapat membangun Satkomhan tersebut. Selanjutnya, Kemenhan membuat kontrak dengan PT Avanti Communication Limited untuk menyewa Satelit Artemis pada 6 Desember 2015.

Namun, saat itu Kemenhan ternyata tidak memiliki anggaran untuk memenuhi keperluan tersebut. "Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkomhan, Satelit Komunikasi Pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," kata dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Kemenko Polhukam, Kamis (13/1/2022). 

Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, langkah Kemenhan menggugat putusan denda ratusan miliar rupiah yang harus dibayarkan ke vendor proyek satelit sudah tepat. Menurutnya, Kemenhan berpeluang lolos dari sanksi denda bila memenangi gugatan ini. 

Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemenhan untuk membayar 20,9 juta dolar AS atau sekitar Rp 296 miliar kepada Navayo selaku vendor proyek satelit. Permohonan Navayo agar Kemenhan melunasi denda itu sesuai putusan ICC Singapura dikabulkan oleh PN Jakpus. 

Namun Prof Hikmahanto mengkritisi putusan tersebut. Menurutnya, masih ada harapan untuk menyelamatkan Kemenhan dari kewajiban membayar denda. 

"Mudah-mudahan ya lolos dari sanksi denda. Semua akan bergantung hakim. Tapi bagus gugatannya karena seharusnya putusan arbitrase itu ditolak untuk bisa dilaksanakan di Indonesia," kata Hikmahanto kepada Republika, Rabu. 

Hikmahanto memandang putusan arbitrase tersebut pantas ditolak untuk diterapkan di Indonesia. Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan Hikmahanto guna mendukung argumentasinya. 

"Karena pertama ada dugaan korupsi di level pelaksana yang saat ini sedang disidik Kejaksaan. Kedua, aset Kemhan tidak bisa dieksekusi berdasarkan 50 UU Perbendaharaan," ujar Hikmahanto. 

Alasan ketiga, Hikmahanto mengutip Pasal 66 UU Arbitrase. Dalam Pasal 66 Huruf C menyebutkan, "Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat".

"Tidak seharusnya yang buat penetapan adalah PN Pusat karena menurut Pasal 66 UU Arbitrase yang berwenang adalah MA," ucap Hikmahanto. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement