Kamis 10 Feb 2022 16:50 WIB

Tragedi Desa Wadas Ingatkan Publik pada Pembangunan Waduk Kedung Ombo

Hingga 2001 masih ada warga Waduk Kedung Ombo yang menuntut ganti rugi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indira Rezkisari
Pekerja menyelesaikan pembuatan keramba jaring apung untuk budidaya ikan air tawar di Waduk Kedung Ombo desa Ngasinan, Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah.
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Pekerja menyelesaikan pembuatan keramba jaring apung untuk budidaya ikan air tawar di Waduk Kedung Ombo desa Ngasinan, Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlawanan warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah terkait proyek bendungan mengingatkan publik atas tragedi yang sama pembangunan waduk Kedung Ombo 37 tahun silam. Waduk dengan cakupan luas 6.576 hektar yang berada di perbatasan tiga kabupaten, diantaranya Kabupaten Grobogan, Sragen dan Boyolali itu, menyimpan cerita pilu yang masih membekas di hati warga yang rumah dan lahan pertaniannya harus tenggelam di dasar waduk.

Waduk yang mulai didirikan sejak 1985 hingga resmi beroperasi pada 8 Mei 1991 ini, berfungsi sebagai alat irigasi dan pembangkit listrik berkekuatan 22,5 megawatt. Walau proyek bendungan itu awalnya menjanjikan manfaat dan kesejahteraan bagi warga, namun waduk yang mampu menampung 723 juta meter kubik air tawar ini, ternyata janji itu tidak sepenuhnya terpenuhi. Air waduk yang telah menenggelamkan 37 desa di 7 kecamatan, menyisakan masalah kemiskinan lain bagi warga yang harus merelakan aset rumah dan lahan pertanian mereka dengan ganti rugi yang tidak adil.

Baca Juga

Bahkan hingga lebih dari 30 tahun bendungan Kedung Ombo tersebut beroperasi, hingga kini masih ada masyarakat yang belum menikmati kesejahteraan akibat sumber pendapatan pertanian mereka hilang. Apalagi pembangunan waduk tersebut, harus menenggelamkan area lahan subur pertanian milik warga masyarakat. Karena itulah tidak semua warga menerima dengan ikhlas janji uang ganti rugi yang diberikan pemerintah saat itu, yang tidak sebanding dengan total harta kepemilikan dan sumber pendapatan mereka.

Bagi mereka yang menerima lahannya diganti rugi, proses ganti rugi juga berlangsung sangat lama. Diketahui, hingga 2001 masih ada warga sekitar waduk Kedung Ombo yang menuntut ganti rugi yang adil dengan luas area lahan pertanian yang mereka korbankan. Selain opsi ganti rugi, pemerintah juga menjanjikan jalan kesejahteraan lewat cara transmigrasi. Namun langkah transmigrasi ini bahkan lebih menyengsarakan warga, karena mereka harus ditempatkan di daerah yang terpencil tanpa akses fasilitas publik, serta jauh dari tanah kelahiran mereka.

Wajar dalam perjalanan proyek pembangunan waduk Kedung Ombo dianggap gagal mensejahterakan rakyat. Sebab hingga bendungan ini diresmikan pada 1991 oleh Presiden Soeharto hingga saat ini, proyek yang menjanjikan kesejahteraan tersebut justru menjadi sumber penyebab kemiskinan ribuan masyarakat yang belum mendapatkan ganti rugi yang adil, sedangkan ratusan hingga ribuan meter sumber pendapatan mereka hilang, di sisi lain sebagian mereka dipaksa menjadi transmigran di daerah terpencil.

Hingga kini masih banyak warga dengan ganti rugi kecil di sekitar waduk Kedung Ombo, terpaksa memilih bertahan di tengah kemiskinan. Padahal sebelum adanya waduk, mereka memiliki aset pertanian atau peternakan sapi dan perkebunan sayur. Padahal proyek bendungan yang memakan biaya 283,1 juta dolar AS dari pinjaman hutang Bank Dunia, bank luar negeri lain, dan anggaran APBN ini, awalnya menjanjikan kemudahan akses air bersih dan kesejahteraan.

Wajar apabila gambaran dari janji pembangunan proyek bendungan Kedung Ombo, yang menjanjikan kesejahteraan tersebut kemudian menjadi rujukan warga di sekitar Desa Wadas, Kabupaten Purworejo yang menolak pembangunan proyek bendungan. Karena warga memandang persoalan ganti rugi lahan kepada mereka terdampak selalu berujung ketidakadilan dan dipaksakan, layaknya masa traumatik saat pembangunan waduk Kedung Ombo.

Di mana aksi teror, intimidasi hingga represif kekerasan fisik dilakukan oleh pemerintah agar warga mau menerima pemindahan dan penyerahan aset untuk area bendungan. Terlebih lagi pengerahan aparat keamanan, menahan puluhan warga setempat seperti kepolisian untuk merespon penolakan warga dianggap sebagai bagian dari cara represif warisan dari pola pengamanan Orde Baru.

Baca juga : Muzani Bandingkan Insiden Wadas dengan Suksesnya Pembangunan Jalan Tol Jokowi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement