Rabu 25 Dec 2024 07:05 WIB

Buya Hamka, MUI, dan Fatwa Haram Perayaan Natal Bersama

Fatwa MUI ini sempat menimbulkan polemik pada era Orde Baru.

ILUSTRASI Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Foto: Dok. MUI
ILUSTRASI Majelis Ulama Indonesia (MUI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ketokohannya bahkan diakui bukan hanya di dalam, melainkan juga luar negeri.

Dalam perjalanan hidupnya, ulama kelahiran Sumatra Barat itu pernah menjadi ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga yang menjadi titik temu organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam se-Indonesia itu didirikan pada 26 Juli 1975 di Jakarta, yakni pada masa pemerintahan presiden RI Soeharto alias era Orde Baru.

Baca Juga

Dalam kapasitas demikian, Buya Hamka pernah mendapatkan ujian pelik. Sampai-sampai, ia memutuskan untuk mundur dari jabatan ketum MUI.

Pangkal persoalannya adalah tekanan dari pemerintah yang ingin agar MUI membatalkan fatwa tentang perayaan Natal bersama. Orde Baru saat itu tidak puas akan keputusan Buya Hamka walau ulama ini sudah menarik peredaran fatwa tersebut.

Menurut Afandi dalam artikelnya yang terbit di laman resmi Muhammadiyah.or.id, konteks peristiwa ini sesungguhnya dapat ditarik hingga 1968. Artinya, sekira 13 tahun sebelum fatwa haramnya perayaan Natal bersama bagi umat Islam ditetapkan Komisi Fatwa MUI pada tanggal 1 Jumadil Awal 1401/7 Maret 1981.

Seperti dicatat Jan S Aritonang dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004), pada tahun 1968 perayaan Idul Fitri dan Natal kebetulan terjadi berdekatan. Lebaran jatuh pada 1-2 Januari, sedangkan Natal pada 21-22 Desember sebelumnya.

Ihwal kebetulan ini menyebabkan beberapa instansi pemerintah menyelenggarakan dua perayaan secara serempak. Pada gilirannya, muncul fenomena semacam "parade doa" yang menampilkan pembacaan doa-doa dari berbagai perwakilan umat agama.

Bahkan, kegiatan semacam "parade doa" itu terus dilakukan dalam upacara hari-hari besar nasional. Akhirnya, banyak pihak menyuarakan kritik. Di antaranya adalah Ikatan Sarjana Muhammadiyah pada 15 Desember 1968.

“Karena acaranya adalah Idul Fitri dan Natalan, maka setelah dibuka lalu dibacakan ayat-ayat suci Alquran, lalu dibacakan pula kitab Injil oleh sang pendeta. Setelah diuraikan arti halalbihalal dan dijelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, maka berdiri pula sang pendeta menguraikan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan. Alangkah kontrasnya dan paradoksnya dua uraian yang dibawa seorang mubalig dan sang pendeta di dalam gedung saat itu,” demikian bunyi sebuah kritik yang dinukil Umar Hasyim (1978).

Baca juga: Benarkah Buya Hamka larang Muslim ucapkan selamat Natal?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement