Ahad 06 Feb 2022 20:55 WIB

UU Ibu Kota Negara Digugat, Ini Pendapat Yusril Ihza Mahendra

PNKN menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Teguh Firmansyah
Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, meminta masyarakat menghormati Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang telah resmi disahkan oleh DPR dan Pemerintah beberapa waktu lalu. Ia  mempersilakan jika ada pihak yang tidak setuju disahkannya UU IKN tersebut untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau dia telah menjadi sebuah keputusan ya kita hormati, itu lah hasil maksimal dari sebuah demokrasi betapa pun kita tidak suka atau tidak setuju atau kita menolak, untuk itu memang ada saluran-saluran yang dapat ditempuh secara konstitusional dapat melakukan semacam perlawanan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji formil maupun materil dari undang-undang yang dibentuk ini," kata Yusril dalam sebuah diskusi daring bertajuk 'Implikasi Hukum Ibu Kota Negara dari Sisi Ketatanegaraan', Ahad (6/2).

Baca Juga

Yusril menegaskan upaya uji formil dan materil terhadap sebuah produk undang-undang sah dilakukan di negara demokrasi. Hal tersebut merupakan hak konstitusional warga negara yang diatur di dalam undang-undang. Selain melalui jalur konstitusional, Yusril menilai langkah perlawanan lain yang bisa dilakukan adalah melalui jalur politik.

"Suka atau tidak suka ya itu lah faktanya, itu lah kenyataannya, itu lah sesuatu yang berlaku walaupun kita, seperti yang saya katakan tadi, tidak setuju dengan isinya, tapi itu ada saluran konstitusional untuk mengujinya ke MK atau kita dapat terus melakukan suatu perlawanan politik ya silakan saja karena itu adalah sesuatu yang sah dilakukan di dalam suatu negara demokrasi," jelasnya.

Sebelumnya diketahui Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) yang diketuai oleh mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menggugat Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Abdullah, nama-nama lain yang tergabung dalam kelompok tersebut adalah Marwan Batubara, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat, Agung Mozin, dan Neno Warisman.

Gugatan didaftarkan ke MK pada Rabu (2/2). Para pemohon menilai pembahasan UU IKN tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).

Abdullah sebagai pemohon I melihat adanya kerugian konstitusional apabila diberlakukannya UU IKN. Dalam salinan surat permohonan yang diterima disampaikan bahwa ia memahami celah-celah terjadinya praktik korupsi di Indonesia, yang salah satunya adalah melalui pembangunan fisik yang dananya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

"Dana yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru adalah sebesar kurang lebih Rp 501 triliun. Dengan dana yang begitu besar akan membuka peluang untuk terjadinya korupsi," tulis pemohon I.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement