REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengingatkan Presiden mengenai rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa 1965. Komnas HAM merumuskan rekomendasi tersebut pada 2018 lalu dan sudah disampaikan kepada Presiden.
“Ini masih menjadi sikap kami sampai saat ini dan sudah disampaikan kepada Presiden bagaimana menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang berlalu,” ujar Beka dalam acara rilis hasil survey SMRC secara daring, Jumat (1/10).
Dia mengatakan, rekomendasi yang pertama, Presiden harus segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya melakukan penyidikan atas 12 berkas penyelidikan yang telah diselesaikan Komnas HAM. Makin lama penyidikan dilaksanakan, maka barang bukti makin sulit diperoleh dan diklarifikasi, ditambah ada retensi asing dan sebagainya yang mempersukar penyidikan.
Di samping itu, para korban dan saksi mata atas peristiwa 1965 juga makin tua, bahkan beberapa di antaranya sudah meninggal dunia. Makin lama penyelesaian dilakukan, maka peristiwa tersebut makin menjadi sulit diselesaikan dan berakibat pada terabaikannya hak-hak dan pemulihan korban terutama perempuan dan anak-anak.
Rekomendasi yang kedua, Beka melanjutkan, Presiden dapat menggunakan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jalan ini bisa ditempuh apabila pemerintah menganggap cara yudisial pada rekomendasi pertama tidak realistis.
Pasal 47 UU 26/2000 itu terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Beka, hal ini tetap bisa dilakukan meskipun Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum untuk pembentukan KKR sebagai alternatif penyelesaian, maka Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai KKR. “Tentu saja ini tidak hanya sekadar rekonsiliasi, harus ada pengungakapan kebenaran terlebih dahulu, kemudian rekonsiliasi, juga kompensasi, bagaimana kemudian rehabilitasinya, pemulihannya, dan segala macamnya,” jelas dia.