Rabu 01 Sep 2021 20:51 WIB

Amandemen UUD, Pusako: Kepentingan Elite

Direktur Pusako menilai amandemen UUD berasal dari kepentingan elite politik.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bayu Hermawan
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengkritisi hadirnya rencana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bertujuan untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Padahal pada pemilihan umum (Pemilu) 2019, tak ada satupun partai politik yang mengkampanyekan hal tersebut.

"Itu bukan kepentingan publik, tapi kepentingan elite. Indikatornya pemilu kemaren tidak ada yang kampanye (PPHN), kalau publik tahu maka dia akan berdialog dengan para calon (presiden)," ujar Feri dalam sebuah diskusi daring, Rabu (1/9).

Baca Juga

Amandemen UUD, nilai Feri, berasal dari kepentingan politik dan yang diuntungkan adalah partai-partai yang saat ini dominan. Hal tersebutlah yang akan menimbulkan pertarungan tak sehat dan dapat menyebabkan keributan.

"Kalau anda membawa isu perubahan konstitusi ini dengan membawa perubahan a, b, c, d, bagaimana kita bisa mengatakan ini bagian dari kepentingan publik," katanya.

Selain itu, ia tak melihat adanya korelasi antara pandemi Covid-19 dengan amandemen UUD. Menurutnya, menambah kewenangan DPR di tengah pandemi tak akan memperbaiki penanganan Covid-19 di Indonesia.

"Itu nyambungnya di mana? kok begitu jauh antara kepentingan publik dengan kepentingan politik yang dirancang untuk kepentingan publik," ucap Feri.

Hidupnya PPHN juga tak menjamin pembangunan nasional berkelanjutan akan terjadi. Sebab ia melihat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi cikal PPHN tak melakukan hal tersebut.

"Sejak kapan pembangunan di Orde Lama dengan Orde Baru berkelanjutan dengan GBHN. Saya tidak melihat ada kajian yang menjelaskan di GBHN apakah pembangunan betul-betul dilakukan untuk publik," ujar Feri.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, mengatakan bahwa MPR sudah memiliki rencana waktu terkait kapan  amendemen terbatas UUD 1945 dilakukan. Namun, dirinya tidak menjelaskan secara detail kapan waktunya.

Bamsoet menjelaskan, mekanismenya telah diatur sesuai pasal 37 UUD 1945 yaitu perubahan pasal-pasal baru dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota. Tidak hanya itu pengambilan keputusannya melalui forum sidang paripurna yang harus dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga.

"Jadi kalau ada satu partai saja yang tidak hadir, boikot misalnya, tidak setuju, itu dihitung nanti. Kurang satu saja tidak bisa dilanjutkan. Itulah karena MPR adalah rumah kebangsaan, cermin daripada kedaulatan rakyat, maka satu suara saja bisa menggagalkan atau tidak meneruskan pembahasan amendemen terbatas," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement