Senin 01 Jul 2024 22:12 WIB

Tanggapi Wacana Amandemen UUD 1945, PDIP Dukung Pemilu Proporsional Tertutup

PDIP menilai Amandemen UUD 1945 adalah keniscayaan

Ketua DPP PDIP  Said Abdullah, mengatakan PDIP menilai Amandemen UUD 1945 adalah keniscayaan
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua DPP PDIP Said Abdullah, mengatakan PDIP menilai Amandemen UUD 1945 adalah keniscayaan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), MH Said Abdullah, angkat bicara menyikapi wacana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mencuat kembali setelah pertemuan pimpinan MPR dengan Presiden Joko Widodo.

“Yang perlu dipertegas adalah kebutuhan kita kedepan, bukan kembali ke naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen,” kata dia, dalam keterangannya kepada media di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Baca Juga

Dia mengatakan, para pendiri bangsa sendiri mengakui bahwa konstitusi yang mereka rumuskan sebelumnya bukanlah harga final. Butuh berbagai penyesuaian baru sejalan dengan kemajuan zaman, oleh sebab itu membutuhkan adanya undang-undang dasar yang lebih relevan. “Salah satunya, kerisauan kita atas demokrasi yang kita jalani saat ini kian berbiayamahal,” ujar dia.

Akibatnya, kata dia, rekrutmen politik tidak semata mata mengandalkan pengabdian, integritas dan intelektualitas. Padahal nilai nilai itulah yang menjadi kehandalan para pendiri bangsa mendirikan negara ini.

“Bertolak belakang dengan yang kita jalani saat ini. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, ditambah budaya politik yang belum mature, membuahkan praktik pemilu kita layaknya arena jual beli barang dagangan di pasar,” kata dia menegaskan.

Padahal pemilu, menurut Said, adalah arena mendapatkan putra putra terbaik yang dengan sepenuh hati, pikiran cemerlang, dan loyalitas pengabdian untuk bangsa dan negara.

Dia mengatakan, di negara negara paling liberal pun, pelaksanaan pemilihan masih meletakkan pergulatan gagasan sebagai kasta tertinggi dalam penentuan keputusan politik.

“Sementara kita yang didasari oleh demokrasi Pancasila memunggungi ajaran ajarannya,” tutur dia.

Said menyebut, demokrasi Pancasila itu ditegakkan atas fondasi yang kuat atas penghormatan multikulturalisme, hak asasi manusia, penghormatan terhadap hak minoritas, keadilan sosial, penghargaan atas kejujuran, pengabdian, dan keteladanan.

“Nilai nilai itu harus tercermin sistem perwakilan kita, serta praktik hidup berbangsa dan bernegara sehari hari,” kata dia memaparkan.

Dia berpendapat, dengan pemilu yang transaksional, hanya mereka yang bermodal ekonomi kuat, yang memiliki kemungkinan besar terpilih. Apa daya dengan kelompok kelompok adat, yang secara basis elektoral kecil, apalagi kekuatan ekonominya.

Said mengingatkan, kelompok kelompok seperti ini hanya menjadi bagian dari komoditas pemilu. Padahal Demokrasi Pancasila menempatkan mereka sebagai bagian penting dari subyek keterwakilan politik. Lantas dimana makna keterwakilan minoritas?

“Situasi itu harus kita sudahi. Melalui amandemen UUD 1945, kita rumuskan kembali sistem pemilu yang menjawab kebutuhan untuk melakukan reformasi politik,” tutur dia.

Sejak awal PDI Perjuangan berkepentingan pada sistem pemilihan proporsional tertutup. Kita tahu sistem ini ditolak karena belum adanya kepercayaan terhadap partai politik.

Opini yang berkembang, kata dia, proporsional tertutup tanpa disertai reformasi partai politik muncul sangkaan kian menguatkan oligarkhisme politik pada partai politik.

“Sangkaan ini bisa saya pahami. Oleh sebab itu, PDI Perjuangan juga sejalan untuk mewujudkan partai politik yang modern, dengan terus berbenah diri,” kata dia.

Pendek kata, kata dia, penting untuk meletakkan pengaturan konstitusional guna mengatur sistem pemilu dan reformasi partai politik dalam rencana amandemen UUD 1945. Dengan pengaturan itulah, akan menjadi dasar bagi pengaturan yang lebih detil dalam undang undang pemilu dan partai politik.

Said menambahkan, poin penting lainnya dalam amandemen UUD 1945 adalah menguatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sejak amandemen keempat UUD 1945, peran MPR menjadi gamang, hanya menjadi lembaga negara yang mengurus fungsi fungsi formal kenegaraan seperti pelantikan Presiden.

PDI Perjuangan berpandangan perlunya MPR ditempatkan sebagai lembaga negara yang berwenang kembali menetapkan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketiadaan GBHN membuat

“Dengan demikian, sumber rujukan hukum Mahkamah Konstitusi adalah UUD 1945 dan TAP MPR. Khusus penempatan TAP MPR sebagai sumber rujukan hukum oleh MK semata mata dalam urusan pembangunan,” kata dia menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement