Selasa 17 Aug 2021 07:26 WIB

ICW: Jokowi Kesampingkan Pemberantasan Korupsi di Pidatonya

Pemerintah dinilai menjadi dalam melemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus raharjo
Presiden Joko Widodo mengepalkan tangan saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Foto: AP/Achmad Ibrahim/AP POOL
Presiden Joko Widodo mengepalkan tangan saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut Presiden Joko Widodo telah gagal dalam hal penguatan pemberantan korupsi. Hal itu dinilai terlihat dari pengentasan korupsi yang tidak disebut pada pidato kenegaraan dalam rangka Hari Kemerdekaan di Gedung Parlemen pada Senin (16/8).

"Tentu ini mengindikasikan bahwa pemerintah kian mengesampingkan komitmennya untuk memerangi kejahatan korupsi," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Senin (16/8).

Dia mengatakan, kurangnya dukungan pemerintah dalam penguatan pemberantasan korupsi terlihat dari RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal hingga Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terbengkalai. Lanjutnya, revisi Undang-Undang KPK yang dianggap akan memperkuat lembaga antirasuah justru terbukti semakin mendegradasi performa KPK.

Selain itu, ICW juga menyoroti abainya pemerintah dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum. Kurnia mengatakan, presiden yang merupakan atasan dari seluruh penegak hukum, termasuk KPK seringkali absen dalam merespons sejumlah permasalahan yang terjadi.

"Misalnya penanganan perkara yang penuh dengan konflik kepentingan di Kejaksaan Agung, menurunnya kinerja penindakan perkara korupsi di Kepolisian dan serangkaian kontroversi kebijakan komisioner KPK," katanya.

ICW menilai pemerintah gagal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Kurnia mengatakan, poin ini merujuk pada fenomena rangkap jabatan yang makin marak terjadi belakangan waktu terakhir. Data Ombudsman pada 2019 menyebutkan setidaknya ada 397 Komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan.

Dia mengatakan, berbagai regulasi, salah satunya Undang-Undang Pelayanan Publik secara jelas telah melarang praktik tersebut. Hal ini diperparah dengan pengangkatan mantan terpidana kasus korupsi pada jajaran komisaris anak perusahaan BUMN yaitu, Emir Moeis.

ICW juga mengamati kalau pemerintah gagal dalam mengelola penanganan dan pemulihan pandemi Covid-19. Kunia mengatakan terlepas dari isu kesehatan dan ekonomi, ada sejumlah persoalan yang menyeruak ke tengah masyarakat. Mulai dari korupsi bantuan sosial, rencana vaksin berbayar, konflik kepentingan terkait obat Ivermectin hingga penetapan tarif pemeriksaan PCR yang seharusnya dapat dijangkau masyarakat ekonomi lemah.

"Dengan berbagai permasalahan di atas lalu dikaitkan dengan pidato kenegaraan presiden, menjadi wajar jika masyarakat kemudian mempertanyakan ulang keseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi," katanya.

Merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi Transparency International, peringkat dan IPK Indonesia semakin memburuk dari angka 40 pada 2019 ke 37 di 2020. Kurnia mengatakan, hal ini telah menggambarkan secara gamblang kekeliruan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi.

"Alih-alih memperkuat, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah menjadi salah satu dalang dibalik melemahnya agenda pemberantasan korupsi," katanya. Diketahui, Presiden Jokowi hanya satu kali menyebut kata korupsi dalam pidatonya di depan MPR RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement