REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkritik pedas peristiwa pungli yang diduga dilakukan oleh puluhan pegawai rutan KPK. ICW menilai hal ini menunjukkan betapa krisisnya nilai integritas di lembaga antirasuah.
"Kondisi ini semakin memperlihatkan adanya guncangan krisis integritas yang luar biasa sedang melanda KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya yang dikutip pada Kamis (18/11/2024).
Kurnia menyebut awal mula terbongkarnya praktik korup puluhan pegawai rutan bermula dari pengusutan dugaan pelanggaran kode etik perbuatan asusila petugas KPK dengan istri seorang tahanan. Dari sana, Dewas KPK kemudian menemukan indikasi adanya pungli yang marak terjadi di rutan KPK.
"Modusnya pun terbilang profesional, karena aliran dana tidak secara langsung mengalir ke rekening pelaku, melainkan berlapis atau menggunakan pihak lain," ujar Kurnia.
Kurnia mengamati problematika integritas pegawai maupun Pimpinan KPK memang menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Kurnia menyebut masyarakat terus disuguhkan rentetan pelaporan dugaan pelanggaran kode etik ke Dewas KPK terkait tindakan memalukan oknum-oknum KPK.
"Padahal, lembaga antirasuah itu selama ini dikenal sebagai contoh dan patron integritas oleh masyarakat," ujar Kurnia.
Dari peristiwa pungli ini, ICW memiliki sejumlah catatan kritis. Pertama, pengusutan praktik pungli yang terjadi di rutan KPK terbilang sangat lambat. Dewas KPK diketahui sudah melaporkan kepada Pimpinan KPK sejak Mei tahun 2023. Namun, hingga saat ini, prosesnya mandek pada tingkat penyelidikan.
"Sedangkan dugaan pelanggaran kode etik pun seperti itu, lebih dari enam bulan Dewas (KPK) baru menggelar proses persidangan," ujar Kurnia.
Kedua, Kurnia menilai KPK gagal dalam mengawasi sektor-sektor kerja yang terbilang rawan terjadi tindak pidana korupsi. Sebagai penegak hukum, Kurnia menyebut mestinya KPK memahami rutan merupakan salah satu tempat yang rawan terjadi korupsi karena disana para tahanan dapat berinteraksi secara langsung dengan pegawai KPK.
"Selain itu, tindakan jual-beli fasilitas yang disinyalir terjadi di rutan KPK saat ini bukan modus baru dan kerap terjadi pada rutan maupun lembaga pemasyarakatan lain. Dari sana mestinya sistem pengawasan sudah dibangun untuk memitigasi praktik-praktik korup," ujar Kurnia.
Ketiga, Kurnia memandang kasus pungli ini disebabkan faktor ketiadaan keteladanan di KPK. Dari lima orang Pimpinan KPK periode 2019-2024 saja, dua di antaranya sudah terbukti melanggar kode etik berat. Oleh karena itu, Kurnia mendorong KPK melakukan reformasi total pengawasan di internal lembaga.
"KPK juga harus memastikan rekrutmen pegawai mengedepankan nilai integritas. Jangan sampai justru orang-orang yang masuk dan bekerja justru memanfaatkan kewenangan untuk meraup keuntungan secara melawan hukum seperti yang saat ini tampak jelas dalam peristiwa pungli di rutan KPK," ujar Kurnia.
Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengungkap nilai Pungli yang melibatkan 93 pegawai mencapai Rp 6,14 miliar. Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan dari jumlah itu setiap oknum menerima besaran bervariasi mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 500 juta. Total angka Rp 6,14 miliar merupakan akumulasi sejak Desember 2021-Maret 2022.
Dalam kasus tersebut, Albertina menyebut Dewas KPK telah memeriksa 169 orang, yang 137 diantaranya merupakan pihak eksternal, serta 32 orang lainnya adalah mantan staf rumah tahanan, mantan kepala bagian pengamanan, dan inspektur.
Hasilnya, 93 orang memenuhi syarat untuk masuk ke tahap sidang etik. Ada 44 sisanya tidak memenuhi syarat. Lalu, ada satu orang yang telah dijatuhi sanksi pada Agustus lalu.