Kamis 22 Sep 2022 11:19 WIB

ICW Sebut Biaya Politik Tinggi Jadi Motif Kepala Daerah Terjerat Korupsi

ICW menyebut rekrutmen parpol selama ini tidak transparan dan akuntabel.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Agus raharjo
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana memberikan keterangan usai menyerahkan surat yang ditujukan untuk Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (27/2).
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana memberikan keterangan usai menyerahkan surat yang ditujukan untuk Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, biaya politik yang tinggi dalam mencalonkan diri sebagai kepala daerah merupakan salah satu motif pejabat terjerumus dalam praktik korupsi. Meskipun terdengar klasik, tetapi faktor ini kerap menjadi alasan tindakan rasuah.

Peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana mencontohkan, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Bahkan, untuk level gubernur dapat mencapai ratusan miliar rupiah.

Baca Juga

"Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala daerah ke proses hukum," kata Kurnia dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (22/9/2022).

Adapun saat ini nama Gubernur Papua, Lukas Enembe pun menjadi sorotan publik. Lukas diduga melakukan tindakan rasuah. Kurnia mengatakan, dugaan praktik korupsi yang dilakukan Lukas juga menjadi pemantik untuk mendesain ulang rekrutmen partai politik.

Menurut dia, selama ini rekrutmen yang dilakukan partai politik tidak transparan dan akuntabel, serta hanya berorientasi pada kekuasaan. Dia menjelaskan, biaya yang mahal juga menjadi persoalan serius dalam proses rekrutmen politik. Tak jarang, lanjutnya, kader partai politik harus mengeluarkan biaya hingga miliaran rupiah untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu.

"Mereka yang telah melewati proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan kepentingan publik saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa mengembalikan modal fantastis yang telah digelontorkan di awal. Proses yang demikianlah yang kemudian menjadi akar dari praktik korupsi," jelas Kurnia.

Kurnia menyampaikan, rekrutmen politik semestinya sejak awal menitikberatkan pada kapabilitas, serta nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Sebab, jelas dia, proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel sejak awal penting untuk mendukung fungsi partai politik berjalan dengan baik.

Disamping itu, Kurnia menuturkan, merujuk pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Lukas disinyalir melakukan penyelewengan anggaran operasional pimpinan dan pengelolaan Pekan Olahraga Nasional (PON). Dalam konteks ini, kata dia, menjadi menarik jika dibenturkan dengan isu efektivitas pengawasan oleh inspektorat daerah.

Sebab, aliran dana tak wajar Lukas bukan baru-baru ini terdeteksi, melainkan sejak tahun 2017 sebagaimana disampaikan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). "Hal itu menandakan selama lima tahun ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas internal pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi," tutur dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkap, dugaan korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe tidak hanya berupa gratifikasi bernilai Rp 1 miliar. Dugaan korupsinya mencapai ratusan miliar rupiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement