REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu segera mengubah pendekatan dalam menyelesaikan konflik kekerasa di Papua. Pengamat isu Papua dari President University, Emir Chairullah mengatakan hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari bertambahnya jumlah korban di kedua belah pihak, baik aparat TNI/Polri maupun TPNPB OPM (KKB) serta masyarakat sipil yang dianggap berafiliasi dengan keduanya.
“Pemerintah tidak cukup hanya menggunakan pendekatan kesejahteraan, apalagi keamanan, untuk mengakhiri konflik Papua. Hal ini terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan konflik yang sudah terjadi selama puluhan tahun,” demikian kata Emir dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (26/4).
Emir menulis disertasi soal kemunculan elite lokal dan Otonomi Khusus Papua di University of Queensland Papua. Ia menilai pemerintah mau tidak mau harus menggunakan kembali pendekatan resolusi konflik dalam menangani kasus bernuansa separatisme. Sebab pendekatan ini pernah dicoba pada masa Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid dan terbukti relatif efektif dalam mengurangi kekerasan di Papua.
Berdasarkan berbagai riset yang ia lakukan dan peneliti lain soal berbagai pendekatan penyelesaian konflik Papua, kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan pihak separatis di Papua relatif mereda karena penerapan resolusi konflik yang kemudian berwujud Otonomi Khusus di provinsi tersebut. Pendekatan resolusi konflik berupa dialog ini juga yang berhasil mengakhiri konflik seperatisme yang sudah berlangsung puluhan tahun di Aceh pada 2005.
Sayangnya, Emir menilai, pemerintah pusat malah tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan Otonomi Khusus Papua sejak diberlakukan pada 2001. Pemerintah kemudian lebih sering mengabaikan apa yang menjadi mandat dari UU No 21/2001 tentang Otsus Papua itu. “Ini dengan lebih mengedepankan pendekatan ekonomi dan keamanan ketimbang pendekatan politik yang mengutamakan negosiasi,” kata dia, menjelaskan.
Selain itu, Emir juga menilai, pemerintah cenderung mengaburkan makna otsus yang seharusnya lex specialis menjadi lex generalis. Akibatnya kepentingan orang asli Papua (OAP) yang menjadi tujuan utama dari pemberlakuan UU Otsus menjadi tereduksi atau bahkan terabaikan.
Oleh karena itu, ia menekankan, jika masyarakat Indonesia ingin menjaga stabilitas keamanan di Papua, pemerintah harus mau mengakomodasi usulan dialog yang diajukan masyarakat dan elite Papua. Langkah ini diyakini tidak membuat pemerintah pusat menjadi kehilangan muka di mata masyarakat. Justru dialog membuktikan kalau pemerintah mau mendengarkan aspirasi masyarakatnya, terutama OAP.
Hal yang sama (dialog maupun negosiasi) juga harus dilakukan oleh pihak TPNPB OPM untuk segera mengakhiri kekerasan ini. “Jika ingin membuat OAP hidup aman dan bebas dari teror, TPNPB atau KKB tentu harus mau mengakhiri upaya kekerasan yang selama ini mereka lakukan,” kata dia lagi. Kecuali kalau tujuannya hanya membuat masyarakat terus hidup dalam ketakutan dan bukan menyejahterakan OAP.
Sebagaimana diketahui, aksi kekerasan yang berujung dengan kematian berulang kali terjadi di Papua belakangan ini. Korban yang meninggal bukan hanya dari kalangan militer, namun juga dari kalangan sipil. Terakhir Kepala BIN Daerah Papua Brigjen TNI Putu IGP Dani Karya gugur saat menjalankan tugas akibat karena tembakan senjata di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak.