Rabu 24 Mar 2021 20:50 WIB

'Dialog Konstruktif Diperlukan Sebelum Amandemen UUD 1945'

Wakil Ketua MPR menilai perlunya dialog sebelum amandemen UUD 1945

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menilai perlunya dialog sebelum amandemen UUD 1945
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menilai perlunya dialog sebelum amandemen UUD 1945

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Berbagai dinamika yang berkembang saat ini terkait wacana amandemen terbatas UUD 1945 harus dikaji lewat dialog yang konstruktif

Hal ini disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema ‘Membedah Wacana atas Amandemen Terbatas UUD 1945’ yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/3). 

Baca Juga

“Kekuatan dialog harus selalu kita tanamkan dan terapkan dalam kehidupan setiap anak bangsa dan dinamika setiap organ negara,” kata dia.   

Dialog yang dilakukan, menurut Lestari, tidak dimaksudkan untuk mendukung pendapat satu dan lainnya, namun semata untuk tata kelola yang mampu mewujudkan jalan terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Apalagi, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, kita belajar bersama dari realitas kebangsaan, bahwa bangsa ini dibangun dari berbagi pikiran konstruktif lewat berbagai dialog. 

Karena itu, ujar anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, komitmen kebangsaan yang telah dibangun pendiri bangsa dan juga komitmen kebangsaan yang dibangun di atas semangat reformasi harus tetap konsisten menjaga eksistensi NKRI. 

Ketua Fraksi Partai NasDem MPR RI, Taufik Basari, berpendapat  momentum amandemen harus didasari semangat menata kembali acuan bernegara kita. 

Kita lihat, jelas Taufik, terdapat beberapa wacana permasalahan sistem ketatanegaraan. PPHN misalnya akan menimbulkan konsekuensi pada sistem presindesial. 

Jadi, ujarnya, sebelum mengamandemen UUD 1945 harus melalui kajian yang mendalam. Demikian pula dengan usulan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang harus dikaji ulang, dipertimbangkan kembali secara mendalam. 

Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Valina Singka, menganjurkan sebelum memutuskan amandemen konstitusi, perlu dilakukan evaluasi apakah problem yang dihadapi bangsa ini disebabkan konstitusi atau karena pelaksanaan regulasi. 

Bisa jadi, jelas Valina, undang-undang yang ada saat ini yang belum bisa menjawab persoalan yang terjadi di masyarakat atau undang-undang yang ada belum dijalankan dengan baik oleh para pemangku kepentingan.

Semangat amandemen, menurut Valina, tidak bisa dipisahkan dari gerakan reformasi. Saat gerakan reformasi muncul, semangat amandemen itu bertujuan membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat kewenangan legislatif, serta mempertegas sistem presidensial.

Direktur Eksekutif Indobarometer, Muhammad Qodari, menilai saat ini ruang amandemen itu terbuka untuk merespons persoalan yang dihadapi bangsa. 

Menurut Qodari, masalah yang dihadapi bangsa saat ini adalah ancaman polarisasi kekuatan bangsa. "Kita sekarang ini sedang menuju pada perpecahan sebagai dampak polarisasi yang dikhawatirkan bisa berujung pada munculnya korban jiwa," ujar Qodari. 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan, Atang Irawan, berpendapat penyelesaian masalah bangsa tidak melulu lewat amandemen konstitusi. Karena amandemen konstitusi akan berimplikasi pada perubahan sejumlah aturan lainnya. 

Demikian juga, ujar Atang, dengan usulan memunculkan kembali GBHN dalam bentuk PPHN untuk memperbaiki manajemen pembangunan nasional. 

Atang menegaskan, bila ingin mengusir semut jangan membakar rumahnya. Bukankah ada UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang ditujukan sebagai acuan melaksanakan pembangunan. 

“Untuk memperkuat manajemen pelaksanaan pembangunan nasional saat ini, cukup memperkuat sejumlah aturan pada undang-undang tersebut,” kata dia.    

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement