Rabu 17 Feb 2021 00:01 WIB

Kejagung Periksa Empat Pejabat BPJS Ketenagakerjaan

Kejagung telah menaikkan kasus dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan ke penyidikan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak (tengah).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa empat pejabat internal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker), Selasa (16/2). Pemeriksaan tersebut merupakan lanjutan dari penyidikan dugaan korupsi dan penyimpangan investasi BPJS Naker yang ditaksir merugikan keuangan negara senilai Rp 20-an triliun.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejakgung) Leonard Ebenezer Simanjuntak menerangkan, dalam penyidikan kali ini, tim di Jampidsus memeriksa delapan nama.

Baca Juga

“Yang diperiksa hari ini, yaitu FL, PI, CT, IH, EIS, VD, ABY, dan HK. Semuanya masih berstatus saksi-saksi,” kata Ebenezer dalam keterangan resmi penyidikan yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (16/2).

Dari delapan nama saksi terperiksa tersebut, empat di antaranya adalah pejabat di internal BPJS Naker. Mereka, antara lain, PI yang menjabat selaku deputi direktur pasar modal di BPJS Naker.

Sementara CT, diperiksa terkait jabatannya selaku dealer pasar uang di BPJS Naker. Adapun IH, diperiksa sebagai saksi lantaran posisinya sebagai asisten deputi bidang pasang uang di BPJS Naker.

Terakhir HK, diperiksa seagai saksi dalam jabatannya selaku deputi direktur investasi langsung di BPJS Naker. Adapun inisial lainnya adalah para direktur utama dan manajemen operasional perusahaan sekuritas, pengelola aset dari swasta.

“Saksi-saksi tersebut diperiksa untuk penyidik mencari fakta-fakta hukum dan mengumpulkan alat-alat bukti tentang perkara tindak pidana korupsi pada pengelolaan keuangan dan investasi di BPJS Ketenagakerjaan,” terang Ebenezer.

Direktur Penyidikan Jampidsus Febrie Adriansyah pernah mengungkapkan, potensi kerugian sementara dari penanaman investasi saham dan reksa dana yang dilakukan BPJS Naker mencapai Rp 20 triliun. Febrie mengatakan, dari penyidikan sementara, potensi kerugian negara tersebut terjadi berturut pada tiga tahun periode pembukuan di BPJS Naker.

Meskipun tak menyebutkan periodeisasi tahunan kerugian, Febrie menegaskan, penyidikan saat ini masih fokus mencari bukti-bukti untuk menjadi dasar penetapan tersangka, penanggung jawab, serta pemegang keputusan transaksi.

“Kita saat ini sedang mendalami untuk memastikan, apakah kerugian ini karena perbuatan seseorang, sehingga masuk dalam kualifikasi pidana atau risiko bisnis,” ujar Febrie saat ditemui Republika di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejaksaan, Jakarta, pada Kamis (11/2).

Febrie meyakini, potensi angka kerugian dengan nilai sebesar itu tak lazim disebut sebagai risiko bisnis. “Dalam tiga tahun bisa rugi sampai (Rp) 20 t (triliun). Kalau itu kerugian bisnis, apakah memang analisisnya sebodoh itu, bisa sebesar itu? Karena analisisnya memang salah atau sengaja dibuat salah, untuk maksud tertentu,” terang Febrie.

Sebab itu, dikatakan Febrie, tim penyidikannya sedang memilah-milah sejumlah investasi saham dan reksa dana yang dilakukan manajemen BPJS Naker untuk menemukan motif dari analisis dan transaksi sebagai salah satu dasar menetapkan tersangka.

“Jadi, jaksa mendalami ini. Kerugian yang mencurigakan itu, apakah ada kesengajaan untuk dibuat merugikan BPJS Ketenagakerjaan,” terang Febrie menambahkan.

Dugaan korupsi di BPJS Naker naik ketingkat penyidikan sejak pertengahan Januari 2021. Febrie pernah menerangkan, dugaan korupsi tersebut menyangkut transaksi saham dan reksa dana setotal Rp 43 triliun dari seluruh investasi BPJS Naker senilai Rp 400-an triliun. Penyidikan tersebut, sampai hari ini, belum meningkat ke penetapan tersangka. Akan tetapi, proses pemeriksaan saksi-saksi masih terus dilakukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement