Selasa 12 Jan 2021 12:37 WIB

Temuan Mesin Dukung Analisis Sriwijaya tak Meledak di Udara

KNKT duga mesin Sriwijaya Air masih bekerja hingga pesawat membentur laut.

Tim investigasi KNKT melakukan pemeriksaan bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di Dermaga JICT 2, Jakarta, Selasa (12/1). KNKT menerima sejumlah komponen pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Komponen pesawat yang sudah bisa diidentifikasi mulai dari ekor pesawat, beberapa instrumen pesawat seperti GPWS dan radio altimeter, hingga peluncur darurat. Foto : Edwin Putranto/Republika
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Tim investigasi KNKT melakukan pemeriksaan bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di Dermaga JICT 2, Jakarta, Selasa (12/1). KNKT menerima sejumlah komponen pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Komponen pesawat yang sudah bisa diidentifikasi mulai dari ekor pesawat, beberapa instrumen pesawat seperti GPWS dan radio altimeter, hingga peluncur darurat. Foto : Edwin Putranto/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahayu Subekti, Antara

Bagian-bagian dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh ke perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, ditemukan satu per satu. Salah satu temuan penting yang bisa membantu menganalisa penyebab jatuhnya SJ 182 adalah bagian mesin, turbine disc.  

Baca Juga

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, mengatakan turbine disc ditemukan dengan kondisi fan blade rusak. "Kerusakan fan blade menunjukkan bahwa kondisi mesin masih bekerja saat mengalami benturan," kata Soerjanto dalam pernyataan tertulis yang diterima Republika, Selasa (12/1).

Dia menambahkan, hal tersebut membuktikan sangat sejalan dengan dugaan sistem pesawat masih berfungsi. Khususnya sampai dengan pesawat pada ketinggian 250 kaki.

Dari rekaman radar Airnav yang dikumpulkan KNKT, terdata SJ 182 masih berada di radar saat ketinggian 250 kaki. Artinya, sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirimkan data. "Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," kata Soerjanto.

Dia merinci, dari data Airnav Indonesia, tercatat pesawat mengudara pada pukul 14.36 WIB. Selanjutnya pesawat terbang menuju arah barat laut pada pukul 14.40 WIB hingga mencapai ketinggian 10.900 kaki. "Tercatat pesawat mulai turun dan data terakhir pesawat pada ketinggian 250 kaki," ujar Soerjanto.

Temuan puing yang diambil dari data KRI Rigel juga turut dianalisa KNKT. Menurut data KRI Rigel, sebaran puing dan sisa pesawat memiliki besaran dengan lebar 100 meter dan panjang 300 sampai 400 meter.

"Luas sebaran ini konsisten dengan dugaan bahwa pesawat tidak mengalami ledakan sebelum membentur air," kata Soerjanto.

KNKT memastikan hingga saat ini investigasi masih terus berlangsung. Salah satu pencarian yang difokuskan adalah lokasi kotak hitam. Mengenai kotak hitam, Soerjanto mengatakan pencarian flight data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) masih dilakukan. Setiap pesawat memiliki dua kotak hitam yakni FDR yang berisi rekaman data perjalanan pesawat dan CVR berisi rekaman data percakapan pilot di dalam kokpit.

"Upaya pencarian kotak hitam berupa FDR dan CVR telah menangkap sinyal dari locator beacon," tutur Soerjanto.

Soerjanto mengatakan, dari sinyal yang diperoleh sudah dilakukan pengukuran dengan triangulasi. Selanjutnya ditentukan perkiraan lokasi seluas 90 meter persegi.

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak sempat menunda penerbangannya selama 30 menit. Dirut Sriwijaya dalam keterangan pers Sabtu (9/1) malam mengatakan penundaan dilakukan akibat cuaca buruk.

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) mengatakan tidak ada cuaca ekstrem saat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak di perairan Kepulauan Seribu. "Tampak berawan, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem," kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin.

Berdasarkan pantuan Sadewa (Satellite-based Disaster Early Warning System) Lapan, tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian. Perkiraan kondisi atmosfer dari aplikasi Sadewa Lapan menggunakan Satelit Himawari-8 9 (awan tumbuh) dan model WRF (angin dan hujan) menunjukkan di sekitar titik kejadian tidak ada kondisi atmosfer ekstrem.

Thomas mengatakan walau ada proses pembentukan sistem konveksi di sekitar titik kejadian, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem. "Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat," ujarnya.

Analisis dinamika atmosfer menunjukkan sistem konveksi skala meso telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa di sekitarnya sejak pukul 11.00 WIB pada 9 Januari 2021. Sistem itu kemudian pecah dan berpropagasi ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang waktu 13.00-15.00 WIB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement