Kamis 31 Dec 2020 21:37 WIB

Mengukir Prestasi di Bekas Kampung Narkoba

Setiap warga yang memiliki keahlian, lantas menularkan ilmunya kepada warga lainnya.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Karyono sedang menyelesaikan pembuatan hiasan untuk aquaspace di Rumah Pangan RW 06, Senin (28/12).
Foto:

photo
Rumah Pangan RW 06 Suradinaya - (Lilis Sri Handayani/Republika)

Setiap warga yang memiliki keahlian tersebut, lantas menularkan ilmunya kepada warga lainnya. Tempat pelatihannya di Rumah Pangan tersebut. Bagi yang memiliki ilmu pertanian, kemudian melatih ibu-ibu mengenai penanaman sayuran hingga terbentuk KWT. Karenanya, lahan itu kemudian diberi nama Rumah Pangan.  

Tak hanya ibu-ibu, warga lain termasuk remaja dan anak-anak, juga diajak terlibat untuk menanam dan merawatnya. Hasil panen dari sayuran yang mereka tanam, kemudian masuk ke dalam kas dan sebagian lainnya digunakan untuk membeli bibit dan pupuk sayuran.

Hasilnya memang belum banyak, tapi sudah lumayan. Seperti misalnya kangkung, sekali panen menghasilkan sekitar 40 ikat. Dijualnya di sini," kata Danin.

Kekerabatan warga semakin erat dengan adanya Rumah Pangan. Mereka pun semakin memiliki keberanian untuk mengatasi satu masalah kronis yang menjadi duri dalam daging di lingkungan RW mereka, yakni adanya sebuah rumah yang menjadi markas bandar narkoba.

Ketua RW 06 Suradinaya Utara, Rudi Santoso, bercerita, peredaran narkoba di lingkungannya itu sudah dimulai sejak sekitar 2009. Entah bagaimana awal mulanya hingga berkembang dengan pesat. Narkoba yang diedarkan berupa obat keras daftar G, seperti Tramadol, Trihex, Zenith dan lainnya. Bahkan, lokasi itu disebut-sebut menjadi pusat peredaran narkoba daftar G untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya.

"Peredarannya dilakukan secara masif, vulgar, terang-terangan. Pembelinya banyak juga dari kalangan anak sekolah, termasuk siswa SMP," keluh Rudi.

Peredaran narkoba itu sangat meresahkan warga. Apalagi, tak sedikit pemuda di RW 06 yang akhirnya juga turut terlibat menjadi penjual narkoba tersebut. Bahkan, ada yang sudah memiliki pekerjaan, memilih keluar dari tempatnya bekerja karena tergiur dengan keuntungan besar dari bisnis haram tersebut.

"Teman-teman pemuda di sini boleh dibilang 50 persennya terlibat. (Menjual narkoba) jadi mata pencaharian karena menggiurkan sekali. Mereka bisa mendapat penghasilan Rp 100 ribu per jam dengan hanya duduk manis," cetus Rudi.

Rudi dan warga lainnya sangat khawatir aktivitas peredaran narkoba itu akan mempengaruhi perkembangan dan masa depan anak-anak mereka. Lingkungan pun menjadi tidak aman dan tidak nyaman karena sering terjadi keributan di antara sesama pengedar narkoba. Belum lagi pembeli dari luar wilayah, juga silih berganti berdatangan ke RW 06.

Selain merasa gusar, warga RW 06 juga malu dengan kondisi tersebut. Pasalnya, lingkungan tempat tinggal mereka kemudian dikenal sebagai kampung narkoba. Ibarat karena nila setitik, rusak susu sebelanga, imej negatif itupun kerap mereka terima saat berinteraksi dengan warga dari wilayah lainnya. "Malu rasanya. Tapi saya tutup telinga saja," tutur Rudi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement