REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra menangis saat memberikan kesaksiannya dalam sidang lanjutan terdakwa Pinangki Sirna Malasari di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/11). Djoko tak kuasa menahan tangis saat dirinya menjelaskan ihwal hukuman 2 tahun penjara dalam kasus hak tagih Bank Bali.
"Pada 25 November, seminggu kemudian Pinangki bersama Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking kembali lagi ke kantor saya. Andi memperkenalkan sebagai konsultan saya dengan Anita, untuk itu saya katakan silakan saya dengan senang hati asalkan ada solusi. Karena saya ingin proses PK saya dan masalah ini (belum selesai) 20 tahun," ungkap Djoko Tjandra sambil tak kuasa menahan tangis di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/11).
Melihat Djoko Tjandra menangis, Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto meminta kepada Jaksa Penuntut Umum memberikan tisu kepada Djoko Tjandra. "Sabar dulu ya, jaksa ada tisu?," ujar Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto.
Salah seorang jaksa perempuan lalu menyodorkan tisu kepada Djoko Tjandra. Dalam kesaksiannya, Djoko Tjandra, Pinangki bersama teman Djoko Tjandra yang bernama Rahmat dan seorang advokat Anita Kolopaking menemuinya di the Exchange 106 Kuala Lumpur pada 19 November 2019. Dalam pertemuan itu, Djoko Tjandra meminta Anita untuk membantu mengurus perkara hukumnya.
"Saya di situ menunjuk Anita Kolopaking sebagai pengacara saya dan memberikan kuasa kepadanya untuk bertindak bagi kepentingan saya," ucap Djoko Tjandra.
"Tapi karena saya tidak terlalu comfortable hanya dengan Anita sendiri maka pada 25 November, seminggu kemudian Pinangki datang lagi bersama Andi Irfan Jaya dan Anita ke kantor saya. Di situ Andi memperkenalkan diri sebagai konsultan dan saya katakan silakan," tambah Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra mengungkapkan, pertemuan pertamanya dengan Pinangki yakni pada 12 November 2019. "Pertemuan pertama saya yang lebih menjelaskan tentang kasus saya, saat itu ada Rahmat tapi dia sama sekali hanya duduk dan tidak bicara satu kata pun. Karena fungsi Rahmat sifatnya hanya memperkenalkan Pinangki ke saya dan saya menjelaskan kasus saya ke Pinangki," ungkap Djoko Tjandra.
Namun, karena tahu profesi Pinangki sebagai jaksa, Djoko Tjandra memutuskan untuk tidak melanjutkan. Ia mengaku hanya berhubungan dengan pengacara-pengacara dan bukan dengan PNS. Terlebih Djoko Tjandra menyebut, tugas Pinangki di Kejaksaan Agung bukan bagian strategis.
"Sekalipun akhirnya saya tahu Pinangki sebagai seorang jaksa dan saya akhirnya tahu juga bahwa beliau bidangnya bukan yang mampu membantu saya, karena dari jabatannya bukan dari JAM Intel, bukan dari JAM Pidsus dan tak punya kapasitas dalam kasus saya," ujar Djoko Tjandra.
Mendengar pernyataan Djoko Tjandra, Jaksa Penuntut Umum, KMS Roni menanyakan apakah Pinangki pernah menyampaikan bisa membantu dirinya.
"Apakah terdakwa pernah menyampaikan 'Apa yang bisa dibantu dalam perkara Pak Djoko?' dan juga mengatakan 'Menarik dong kalau bisa dibantu', apakah ada kalimat itu diucapkan terdakwa?" tanya jaksa KMS Roni.
"Saya tidak ingat," jawab Djoko Tjandra.
Tak puas jawaban Djoko Tjandra, jaksa kembali mencecar pertanyaan tersebut. "Apa terdakwa pernah mengatakan 'Saya bisa urus PK Pak Djoko Tjandra' lalu saudara katakan 'Enak dong supaya tidak bisa dieksekusi?'" tanya jaksa lagi.
"Itu bukan bahasa yang kami diskusikan karena urusan PK jelas-jelas saya tahu PK prosedurnya seperti apa sehingga tidak mungkin Rahmat mengatakan itu ke saya," jawab Djoko Tjandra.
Djoko juga menjawab 'tidak ingat' saat jaksa KMS Roni membacakan BAP milik Djoko Tjandra yang menyebut bahwa saksi Rahmat yang merupakan pengusaha di bidang CCTV dan robotic-lah yang meyakinkan dirinya untuk bertemu dengan Pinangki.
"Apa maksud dan tujuan (pertemuan) tersebut. Dan apa yang membuat saudara mau bertemu Terdakwa yang belum saudara belum kenal dan temui sebelumnya. Dalam BAP disebutkan Rahmat yang meyakinkan untuk bertemu terdakwa. Dan Rahmat bermaksud mengurus saudara saksi agar mendapatkan fatwa MA atas pelaksanaan putusan MK Nomor 33 bulan Mei 2016 dengan membawa Pinangki yang diyakini oleh Rahmat dapat membantu untum mendapat fatwa MA tersebut.Bagaimana jawaban saksi atas BAP nomor 7?" tanya Roni.
"Wah saya sudah tidak mengingat lagi, " jawab Djoko Tjandra.
Mendengar jawaban Djoko Tjandra, Ketua Majelis Hakim Ig Eko Purwanto pun ikut menanyakannya.
"Bagaimana saudara saksi?" tanya Hakim Eko.
"Saya tidak ingat," jawab Djoko Tjandra.
In Picture: Djoko Tjandra Didakwa Menyuap 3 Aparat Negara Sebanyak 15 M
Sebelumnya, Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa dengan tiga dakwaan berlapis. Dakwaan pertama, Pinangki didakwa telah menerima suap 500 ribu dolar AS dari 1 juta dolar AS yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra selaku terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar 1 juta dollar AS yang dijanjikan oleh Joko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar Jaksa KMS Roni membacakan surat dakwaannya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/9).
Dalam dakwaan uang suap itu diterima Pinangki untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.
Atas perbuatannya tersebut, Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor.
Dalam dakwaan kedua, Pinangki didakwa Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam dakwaan disebutkan uang suap yang masih dipegang Jaksa Pinangki sebesar 450 ribu dolar AS juga dibelanjakan barang-barang mewah.
Jaksa Pinangki melakukan pembelian mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di Amerika, pembayaran sewa apartemen maupun hotel di New York, Amerika, pembayaran dokter home care, pembayaran kartu kredit, dan transaksi lain untuk kepentingan pribadi. Tak hanya itu, uang tersebut juga digunakan untuk pembayaran sewa apartemen Essence Darmawangsa dan apartemen Pakubowono Signature yang menggunakan cash atau tunai dolar AS.
Sementara, dakwaan ketiga yakni tentang untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP.
Dalam dakwaan dijelaskan, rangkaian perbuatan Pinangki yang bermufakat jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk memberi hadiah atau janji berupa uang sebesar 10 juta dollar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA. Hadiah atau janji itu untuk kekuasaan dan wewenang pejabat di MA dalam memberikan fatwa MA melalui permohonan fatwa dari pejabat di Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK NOmor 12 tanggal 11 Juni 2019 tidak dapat dieksekusi. Sehingga, Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Pinangki Sirna Malasari, Aldres Napitupulu mengatakan beberapa materi dakwaan terhadap kliennya 'tidak nyambung'. Aldres juga membantah apa yang disampaikan jaksa, jika kliennnya berinisiatif bertemu dengan Djoko Tjandra.
"Misalnya, dalam dakwaan pertama, terdakwa dituduh menerima janji sejumlah uang 500 ribu dollar AS dari 1 juta dollar AS yang dijanjikan oleh Djoko Tjandra, " kata Aldres dalam keterangannya, Kamis (24/9).
Namun, Aldres melanjutkan dalam dakwaan ketiga, terdakwa bermufakaat memberikan uang kepada pihak lain dengan jumlah yang sama. "Ini menurut kami cukup aneh. Ketika seorang terdakwa dituduh sebagai penerima dan juga dituduh sebagai pemberi. Ini yang menjadi salah satu poin keberataan kami," tegasnya.