Rabu 21 Oct 2020 21:26 WIB

Ancaman SKCK, Komnas HAM: Bertentangan dengan Posisi Anak

Anak tidak bisa dikenakan sanksi yang justru menghalangi masa depannya. 

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Polres Metro Tangerang Kota sempat menyatakan ancaman, bahwa para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi di wilayah Kota Tangerang akan tercatat dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh Polda Metro Jaya  yang menyatakan, tidak akan memberi catatan apa pun ke dalam SKCK bagi pelajar yang diamankan oleh petugas terkait unjuk rasa menolak UU Ciptaker.

Menanggapi adanya ancaman tersebut, Komnas HAM menilai, ancaman pemberian SKCK sangat bertentangan dengan posisi anak yang belum memiliki  “consent”  hukum. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menegaskan, anak tidak bisa dikenakan sanksi yang justru menghalangi masa depannya. 

"Juga kontradiktif, di satu sisi dicegah untuk tidak berdemo karena dianggap belum paham pilihan politik demonstrasi, tapi di sisi lain malah dihukum. Jadi, sekali lagi, pakai lah pendekatan persuasi, " tegas Taufan kepada Republika, Rabu (21/10). 

Taufan mengatakan, bila anak yang  melakukan tindak pidana seperti pelemparan, maka penegak hukum seharusnya menggunakan sistem Peradilan Pidana Anak, yakni anak di bawah 16 ditempuh sistem diversi. Ihwal keterlibatan pelajar dan anak dalam aksi unjuk rasa, Taufan menerangkan bahwa anak di bawah usia 18 tahun belum memiliki “consent” secara politik dan hukum, karena itu demonstrasi idealnya bukan lah dunia anak. 

Namun, lanjut Taufan, bukan berarti anak sama sekali tidak boleh berunjuk rasa menyatakan pendapat. "Sepanjang issu yang diangkat berhubungan langsung dengan kehidupan dan kepentingan mereka, bebas dari kemungkinan adanya kerusuhan dll," ujarnya

Taufan melanjutkan, tidak dibenarkan juga adanya mobilisasi terhadap anak untuk kepentingan politik tertentu. Menurutnya, dalam konteks demo massal yang cenderung ada kekerasan dan kerusuhan memang sebaiknya anak dihindarkan untuk terlibat. 

"Namun mesti melalui pendekatan persuasif, bukan dengan penangkapan, " tegasnya. 

Polda Metro Jaya bersama dengan jajaran Polres di wilayah hukumnnya mengamankan sebanyak 1.377 pemuda dan pelajar terkait unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada 13 Oktober 2020. Kemudian saat petugas melakukan pendataan dan pemeriksaan terhadap para pemuda tersebut, diketahui bahwa sekitar 80 persen dari 1.377 orang diamankan pihak kepolisian masih berstatus pelajar. Sebanyak lima orang yang diamankan tersebut bahkan diketahui sebagai pelajar SD.

Polisi kemudian memulangkan pemuda dan pelajar yang diamankan dalam unjuk rasa menolak UU Ciptaker yang berujung ricuh pada Selasa. Namun, Polda Metro Jaya mewajibkan orang tua untuk datang menjemput anaknya dan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement