Jumat 02 Oct 2020 18:41 WIB

Pakar: Revisi UU Kejaksaan untuk Kuatkan Lembaga

Pakar menilai revisi UU Kejaksaan untuk kuatkan lembaga.

Palu hakim (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirmandi, Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho menilai revisi terhadap UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan ditujukan sebagai penguatan lembaga penegak hukum itu.

"Revisi UU Kejaksaan ini untuk kebaikan ke depan, penguatan lembaga dalam rangka merespons dinamika kejahatan yang berkembang sekarang ini serta merespons hubungan antara penegak hukum yang ada saat ini," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (2/10).

Baca Juga

Nugroho mengakui revisi UU Kejaksaan yang telah memasuki tahap harmonisasi dan sinkronisasi serta pembulatan di Badan Legislasi DPR itu telah menimbulkan berbagai polemik, salah satunya terkait penambahan kewenangan jaksa dalam penegakan hukum. Dalam hal ini, ia melanjutkan, yang namanya suatu revisi undang-undang itu prinsipnya untuk menguatkan kewenangan yang mungkin belum tersurat di dalam undang-undang yang bersangkutan.

Selain itu, Nugroho mengatakan revisi terhadap suatu undang-undang bisa juga untuk menambah kewenangan yang sebelumnya belum diatur dalam undang-undang tersebut. "Jaksa di dalam sistem peradilan pidana itu adalah sebagai pengendali perkara atau asas Dominus Litis, rupanya di Undang-Undang Kejaksaan ini ingin dipertegas, diperkuat," ujarnya.

Menurutnya, hal itu perlu diperkuat karena Jaksa merupakan pihak yang bertanggung jawab di persidangan, sehingga ketika suatu perkara belum siap atau belum cukup berdasarkan versi Jaksa, Kejaksaan ingin punya kewenangan pemeriksaan tambahan. Ia mengatakan hal itu disebabkan selama ini pemeriksaan ada di polisi sehingga ketika dilimpahkan, jaksa tinggal pemberkasan saja. 

"Lha ternyata ketika dalam pemberkasan masih kurang, Jaksa ingin ada suatu pemeriksaan ulang," ucapnya.

Nugroho mengatakan, hal itu sebetulnya tidak akan terjadi kalau fungsi prapenuntutan berjalan. "Jadi, dalam ilmu hukum acara pidana itu di prajudikasi ada prapenuntutan. Prapenuntutan itu ruang koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, apakah perkara ini siap diterima atau tidak. Sebetulnya kalau itu berjalan baik, pemeriksaan ulang tidak diperlukan," katanya.

Akan tetapi, kata dia, fungsi prapenuntutan tersebut rupanya belum bisa berjalan baik sehingga dalam hal seperti itu, banyak perkara yang terkatung-katung. "Kalau terkatung-katung, siapa yang dirugikan? Adalah terdakwa, hak asasi manusia. Rupanya itu yang akan dikuatkan di dalam UU Kejaksaan," katanya.

Ia mengatakan polemik lain yang muncul dalam revisi UU Kejaksaan adalah masalah penyadapan. Menurutnya, fungsi penyadapan bagi penegak hukum sebenarnya bagus tapi permasalahannya apakah Kejaksaan Agung sudah bisa mempersiapkan diri.

"Saya kira perlu (adanya kewenangan penyadapan) tetapi belum saatnya, sambil menunggu revitalisasi, kemudian kesiapan, UU Penyadapan kan mau ada lagi. Karena jangan sampai ini (kewenangan penyadapan( dikeluarkan, bertentangan dengan UU Penyadapan. Belum lagi revisi UU Kejaksaan ini mau keluar tapi undang-undang pokoknya, UU KUHAP belum keluar," tegasnya.

Walaupun semua itu belum keluar, kata dia, penambahan kewenangan dalam revisi UU Kejaksaan tetap perlu diapresiasi karena undang-undang umumnya pun entah kapan keluarnya. Oleh karena itu, lanjut dia, penambahan kewenangan dalam revisi UU Kejaksaan merupakan ide yang bagus walaupun nanti kalau ada benturan tentunya direvisi kembali karena merupakan bagian dari menjawab perkembangan dinamika masyarakat khusus dalam hal penegakan hukum.

"Dengan revisi UU Kejaksaan ini, lembaga penegak hukum yang lain mungkin Kepolisian juga harus berbenah, kenapa sampai ada kewenangan tambahan (dalam revisi UU Kejaksaan)," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement