Kamis 20 Feb 2025 10:16 WIB

Peneliti: Penambahan Kewenangan Kejaksaan Mengancam Negara Hukum dan HAM

Revisi UU Kejaksaan yang kedua ini memberikan kewenangan yang semakin luas

Massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia menggelar aksi di depan Gedung Parlemen RI, Jakarta, Kamis (13/2/2025). Aksi bertajuk Aksi Hitam Februari Kelam itu bertujuan untuk menolak asas dominis litis yang berarti memberikan kewenangan secara penuh kepada kejaksaan yang berpotensi merusak sistem hukum di Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia menggelar aksi di depan Gedung Parlemen RI, Jakarta, Kamis (13/2/2025). Aksi bertajuk Aksi Hitam Februari Kelam itu bertujuan untuk menolak asas dominis litis yang berarti memberikan kewenangan secara penuh kepada kejaksaan yang berpotensi merusak sistem hukum di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Senior De Jure (Democratic Judicial Reform), Awan Puryadi, menilai penambahan kewenangan kejaksaan dalam revisi UU Kejaksaan sudah berlebihan. Hal ini membahayakan negara hukum dan HAM.

Hal ini disampaikan Awan dalam diskusi Koalisi Masyarakat Sipil bertema Problematika UU Kejaksaan dan RUU Kejaksaan, Rabu (19/2/2025). “Revisi UU Kejaksaan yang kedua ini memberikan kewenangan yang semakin luas bagi Kejaksaan dalam setiap proses hukum yang dijalankan,” kata Awan dalam siaran pers.

Padahal, UU Kejaksaan tahun 2021 telah memberi kewenangan yang berlebihan pada jaksa. Akibatnya sangat potensial disalahgunakan, seperti masalah hak imunitas jaksa.

Dalam RUU Kejaksaan, menurut Awan, Kejaksaan akan memiliki kewenangan lebih dalam proses hukum. Kewenangan itu adalah melakukan penyelidikan hingga penuntutan. “Kewenangan yang saling bertarung antara penyidik dengan penuntut memantik terjadinya perang dingin yang akan mengorbankan para pencari keadilan,” ungkapnya.

Awan menjabarkan permasalahan terkait perluasan dan potensi penyalahgunaan wewenang bagi kejaksaan diatur khususnya dalam Pasal 30 dalam UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Permasalahan yang perlu menjadi sorotan adalah terkait Pemulihan aset dan badannya; Kewenangan intelijen untuk penegakan hukum dan lainyya.

Selain itu, lanjut Awan, adanya terlibatnya TNI ke dalam lingkungan Kejaksaan jadi masalah tersendiri. Keterlibatan TNI ini merupakan tindak lanjut dari MoU antara Kejaksaan dengan TNI yang ditandatangani pada 2023 .

Keterlibatan TNI yang menjadi persoalan antara lain, pendidikan dan pelatihan, pertukaran informasi intelijen untuk kepentingan penegakan hukum, penugasan TNI di lingkungan Kejaksaan, penugasan Jaksa sebagai supervisor di Oditurat Militer, dukungan dan bantuan personil TNI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kejaksaan, hingga pemberian pendampingan hukum.

Menurut Awan, sebenarnya sudah banyak kewenangan yang sudah diakomodir pada revisi UU Kejaksaan di yang pertama (2021). Dan revisi kedua di tahun ini adalah langkah finalisasi.

“Dari tahun 2021 hingga 2024 merupakan upaya untuk mempersenjatai kejaksaan dengan kewenangan berlebih, yaitu dengan perangkat intelijen, imunitas, dan kewenangan lain yang seharusnya bukan menjadi kewenangannya,” papar Awan.

Awan menyebut harus ada elemen masyarakat yang ke depannya, melakukan judicial review atas UU Kejaksaan. Jika dibiarkan, kata Awan, RUU Kejaksaan ini akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang yang lebih meluas

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement