Kamis 30 Jul 2020 03:07 WIB

Pakar Sebut PK Djoko Tjandra tak Punya Dasar Hukum

Pakar mengatakan PK Djoko Tjandra tidak punya dasar hukum.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Hakim Ketua Nazar Effriandi (kiri) saat memimpin sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh buronan kasus korupsi Cassie Bank Bali, Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, (27/7). Sidang Peninjauan Kembali (PK) tersebut beragendakan mendengar pendapat jaksa atas permohonan Djoko Tjandra untuk menghadiri sidang melalui video telekonferensi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Hakim Ketua Nazar Effriandi (kiri) saat memimpin sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh buronan kasus korupsi Cassie Bank Bali, Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, (27/7). Sidang Peninjauan Kembali (PK) tersebut beragendakan mendengar pendapat jaksa atas permohonan Djoko Tjandra untuk menghadiri sidang melalui video telekonferensi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki dasar hukum. Dia mengatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memiliki hak untuk mengajukan PK.

"Karena yang punya hak PK berdasarkan pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya tidak ada dasar hukum bahwa jaksa PK yang ada hanya yurisprudensi," kata Suparji dalam keterangan, Kamis (30/7).

Baca Juga

Suparji menjelaskan, secara filosofis jaksa sebagai alat negara diberikan untuk membuktikan dugaan tindak pidana dalam sidang tingkat I banding dan kasasi. Dia mengatakan, kepastian hukum tidak bakal ada ketika jaksa memiliki hak mengajukan PK.

"Karena setiap saat orang yang sudah bebas atau lepas dapat dituntut melalui PK Jaksa, hal ini jelas bertentangan dengan nilai keadilan," katanya.

Seperti diketahui, PK yang diajukan oleh JPU bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pasal itu berbunyi "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada MA".

Tidak hanya itu, PK oleh jaksa juga melanggar dua hal. Pertama, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum dan Jaksa tidak dapat menjadi pemohon Peninjauan Kembali.

Jika merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa Jaksa dilarang mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Namun dua hal tersebut dilanggar oleh Jaksa.

Yang terjadi Peninjauan Kembali yang diajukan oleh JPU diterima dan dikabulkan oleh MA dengan putusan no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11/6/2009. Amar putusan PK mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.

Bunyi amar juga menyebutkan bahwa PK membatalkan putusan Mahkamah Agung RI no. 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 156/Pid.B/2000/ PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000.

Putusan MA telah bertentangan dengan Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi $Pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”.

Dalam putusan Kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Terdakwa JST dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging), sedangkan dalam putusan PK, Terdakwa JST dihukum pidana penjara selama 2 tahun.

Hal ini berarti bahwa putusan PK yang diajukan oleh JPU melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, dan dengan demikian Putusan PK no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 melanggar Pasal 266 ayat (3) KUHAP.

Dalam perkembangannya, PN Jaksel menetapkan bahwa mereka tidak dapat menerima permohonan PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra. Berkas perkara buronan kelas kakap tersebut pun tidak dilanjutkan ke MA.

Pertimbangan hukum dari tidak diterimanya permohonan terpidana cassie Bank Bali itu ialah karena yang bersangkutan tidak hadir dalam persidangan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 12 dan SEMA Nomor 7 tahun 2014.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement