REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Transperancy Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola menyarankan agar pimpinan KPK 2019-2024 mengurangi gimik politik saat bekerja dalam memberantas korupsi. Dalam evaluasi kinerja KPK sejak Desember 2019 hingga Juli 2020, TII juga mengatakan lembaga antirasuah itu layak mendapat rapor merah.
"Rekomendasi untuk kinerja organisasi adalah agar pimpinan KPK meminimalkan gimik politik di tengah situasi pelik pemberantasan korupsi," kata peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola dalam diskusi virtual di Jakarta, Kamis (25/6).
Diskusi berjudul "Seminar Nasional Peluncuran Hasil Pemantauan Kinerja KPK Semester I (Desember 2019—Juni 2020)" itu menghadirkan Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, dan peneliti TII Alvin Nicola.
ICW dan TII mengeluarkan evaluasi kinerja KPK pada Desember 2019—Juni 2020 dan menyebut lembaga antirasuah itu layak mendapat rapor merah.
Menurut Kurnia, sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK acap kali tindakan yang bersangkutan tidak lagi terlihat sebagai pemimpin lembaga penegak hukum, tetapi justru mengarah seperti layaknya politisi. Pada saat KPK sedang disorot tajam oleh masyarakat karena ketidakmampuan meringkus buronan, misalnya, Firli Bahuri malah mengundang media untuk menunjukkan kemahirannya memasak nasi goreng.
Firli juga dinilai sempat keliru saat menafsirkan konsep fungsi monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan karena malah diartikan oleh ikut serta secara fisik dalam kegiatan Menteri Sosial saat membagikan bantuan sosial kepada warga terdampak pandemi Covid-19. Intensitas pertemuan antara pimpinan KPK dengan sejumlah pejabat publik. ICW mencatat sejak Januari hingga Februari 2020, mereka telah mengunjungi 17 kantor instansi negara, tiga di antaranya bertemu dengan anggota DPR RI. Kondisi ini, menurutnya, makin menggambarkan nilai independensi KPK yang makin luntur.
Sementara peneliti TII Alvin Nicola membahas mengenai rapor merah KPK di bidang pencegahan. "Terhambatnya kerja-kerja pro justitia KPK tetapi juga berdampak pada terhambatnya efektivitas program kerja pencegahan yang dilakukan KPK. Kami juga ingin tegaskan bahwa sektor pencegahan mendapat rapor merah," kata Alvin.
Contoh rapor merah tersebut disumbang dari minimnya tingkat kepatuhan rekomendasi yang sudah dilayangkan KPK kepada lembaga negara. Misalnya, rekomendasi terkait dengan kenaikan iuran BPJS, pendataan jaring pengaman sosial, penanganan pandemi Covid-19, dan pelaksanaan Kartu Prakerja belum semua dijalankan.