Selasa 09 Jun 2020 09:04 WIB

Potensi Resesi Terdalam Ekonomi Dunia Akibat Pandemi Corona

Bank Dunia memprediksi kontraksi ekonomi 5,2 persen, terdalam sejak Perang Dunia II.

Kapal kargo melintasi Sungai Main dengan latar gedung perkantoran di Frankfurt, Jerman, Jumat (1/5). Sama seperti negara-negara lain di dunia, ekonomi Jerman juga mengalami penurunan pertumbuhan hingga 2,2 persen pada kuartal I 2020 akibat pandemi Covid-19. (ilustrasi).
Foto: AP Photo/Michael Probst
Kapal kargo melintasi Sungai Main dengan latar gedung perkantoran di Frankfurt, Jerman, Jumat (1/5). Sama seperti negara-negara lain di dunia, ekonomi Jerman juga mengalami penurunan pertumbuhan hingga 2,2 persen pada kuartal I 2020 akibat pandemi Covid-19. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara

Guncangan berskala besar dari pandemi Covid-19 dan berbagai kebijakan untuk menahan dampaknya telah menyebabkan ekonomi global dalam kontraksi sangat parah. Menurut perkiraan Bank Dunia, ekonomi global akan kontraksi hingga 5,2 persen tahun ini.

Baca Juga

Kontraksi tersebut menjadi resesi terdalam sejak Perang Dunia II dengan sebagian besar ekonomi mengalami penurunan output per kapita yang dalam sejak 1870. Laporan ini disampaikan Bank Dunia dalam laporan terbarunya, Global Economic Prospects, yang dirilis Senin (8/6).

Aktivitas ekonomi di antara negara-negara maju diperkirakan menyusut 7 persen pada tahun ini. Penyebabnya, terjadi gangguan terhadap permintaan dan penawaran, perdagangan serta keuangan dalam negeri.

 

Sementara itu, pasar dan ekonomi negara berkembang (EMDEs) diprediksi kontraksi 2,5 persen sepanjang 2020. Ini menjadi kontraksi pertama EMDEs sebagai sebuah kelompok, dalam setidaknya 60 tahun terakhir. Pendapatan per kapita diperkirakan menurun sebesar 3,6 persen, akan membawa jutaan orang ke dalam kemiskinan ekstrsm tahun ini.

Tekanan pandemi menghantam paling keras di negara-negara dengan penyebaran wabah paling parah. Mereka yang memiliki ketergantungan besar terhadap perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas dan pembiayaan eksternal juga terdampak signifikan.

Besarnya gangguan akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Tetapi, semua EMDEs dinilai Bank Dunia memiliki kerentanan yang semakin besar akibat guncangan eksternal. Selain itu, disrupsi pada aktivitas belajar mengajar formal dan akses layanan kesehatan primer cenderung memiliki dampak jangka panjang pada pengembangan sumber daya manusia.

Wakil Presiden Kelompok Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan dan Lembaga yang Adil Ceyla Pazarbasioglu mengatakan, situasi ekonomi tahun ini menjadi outlook yang sangat dalam. Khususnya karena krisis cenderung meninggalkan bekas luka panjang dan menimbulkan tantangan global yang besar.

Pazarbasioglu menjelaskan, urutan prioritas Kelompok Bank Dunia saat ini adalah menangani kesehatan global dan keadaan darurat ekonomi.

"Selain itu, komunitas global harus bersatu untuk menemukan cara membangun kembali pemulihan sekuat mungkin untuk mencegah lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan dan pengangguran," tuturnya dalam rilis di situs resmi Bank Dunia.

Untuk asumsi dasar (baseline), Bank Dunia menyebutkan, pertumbuhan global dapat membaik pada 2021 dengan pertumbuhan menyentuh 4,2 persen. Sementara ekonomi maju tumbuh 3,9 persen dan EMDEs bangkit kembali sebesar 4,6 persen.

Tetapi, ini dengan asumsi, pandemi dapat mereda sehingga langkah-langkah penanganan dapat berkurang dan dampak buruk pandemi berkurang pada semester kedua 2020. Bagaimanapun, Bank Dunia menekankan, prospek ekonomi masih sangat tidak pasti dan banyak downside risk yang dominan. Di antaranya kemungkinan pandemi terjadi berkepanjangan, pergolakan di pasar keuangan dan perdagangan global yang kembali bermasalah.

Apabila risiko tersebut terjadi, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia dapat kontraksi hingga delapan persen pada 2020 dengan EMDEs menyusut hampir lima persen. Pemulihan terjadi pada 2021, namun dengan laju sangat lambat, yakni tumbuh satu persen.

Ekonomi Amerika diperkirakan berkontrakasi 6,1 persen tahun ini, mencerminkan gangguan yang terkait dengan langkah pengendalian pandemi. Output wilayah Eropa diprediksi menyusut lebih dalam, hingga 9,1 persen, pada 2020. Wabah yang meluas dan memakan banyak korban pada aktivitas ekonomi menjadi penyebabnya.

Ekonomi terbesar dunia, China, diprediksi mengalami pertumbuhan melambat 1 persen pada tahun ini. Tapi, ekonomi mereka diprediksi akan rebound menjadi 6,9 persen pada 2021, seiring pemulihan aktivitas secara bertahap di sana dan kebijakan lockdown mulai dicabut di beberapa negara.

Dengan mengecualikan China, aktivitas ekonomi Asia Timur dan Pasifik diprediksi kontraksi sebesar 1,2 persen pada tahun ini. Ekonomi akan kembali rebound hingga 5,4 persen pada 2021.

Di antara ekonomi utama di wilayah Asia Timur dan Pasifik, Malaysia, Filipina dan Thailand diperkirakan akan mengalami kontraksi terdalam tahun ini. Sementaram Malaysia tumbuh negatif 3,1 persen, Filipina dan Thailand masing-masing tumbuh negatif 1,9 persen dan lima persen.

Kebijakan shutdown domestik, pengurangan aktivitas pariwisata, gangguan terhadap perdagangan dan manufaktur hingga spillover dari pasar keuangan terjadi di negara-negara tersebut.

Ekonomi Indonesia

Aktivitas ekonomi Indonesia diperkirakan konstan tumbuh 0 persen pada 2020. Ekonom senior Bank Dunia atau World Bank (WB), Ralph Van Doorn, sebelumnya menyebut, proyeksi 0 persen itu akibat implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama dua bulan terakhir.

“Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat ke 0 persen. Asumsi ini berdasarkan dua bulan implementasi dari PSBB yang efektif mulai April hingga Mei bahkan sampai Juni,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (2/6).

Ralph mengatakan, prediksi tersebut juga merupakan imbas dari perekonomian global yang melambat, baik di negara maju maupun berkembang, sehingga berpengaruh pada harga-harga komoditas. “Konsumsi akan melambat karena terjadinya PHK dihasilkan dari penurunan kegiatan ekonomi dan menurunnya kepercayaan konsumen,” ujarnya.

Selanjutnya, Ralph memperkirakan pertumbuhan investasi turut melambat akibat ketidakpastian berakhirnya wabah Covid-19 serta penanganannya, harga komoditas rendah, dan perlemahan ekonomi global. Lalu, impor jatuh lebih cepat daripada ekspor sehingga tecermin dalam neraca pembayaran dan peningkatan defisit transaksi berjalan.

Kemudian, ia memprediksikan utang RI berada di level 37 persen dari PDB yang didorong oleh defisit lebih tinggi, pertumbuhan lebih lambat, depresiasi nilai tukar rupiah, guncangan suku bunga, serta banyaknya pinjaman untuk membiayai paket stimulus. Oleh sebab itu, Ralph menyatakan berdasarkan, berbagai pertimbangan dan prediksi tersebut, Bank Dunia telah menyiapkan skenario terburuk, yaitu perekonomian Indonesia akan terkontraksi hingga 3,5 persen dari PDB.

“Jika terjadi PSBB diimplementasikan selama empat bulan maka akan menyebabkan kontraksi ekonomi sebesar 3,5 persen dari PDB,” katanya menegaskan.

Akibat dari kontraksi ekonomi itu, Ralph juga memproyeksikan penduduk miskin Indonesia akan meningkat 2,1 persen sampai 3,6 persen. Artinya, jumlahnya bertambah 5,6 juta hingga 9,6 juta orang pada tahun ini akibat dampak pandemi Covid-19.

“Kami perkirakan perlambatan ekonomi menyebabkan tingkat kemiskinan naik sekitar 2,1-3,6 persen atau 5,6 juta-9,6 juta orang miskin baru relatif pada skenario jika pada 2020 tidak terjadi pandemi,” katanya.

Menurut Ralph, pemerintah perlu mendukung penduduk miskin dan rentan miskin seperti penyiapan jaring pengaman sosial yang memadai serta dukungan terhadap industri dan kesehatan. Ia menilai paket stimulus fiskal yang telah dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan adanya pergeseran belanja seperti dari infrastruktur menuju jaring pengaman sosial dan dukungan industri. Bank Dunia pun menyetujui langkah pemerintah itu.

“Kami setuju ini merupakan langkah yang perlu diambil, namun mungkin tidak cukup."

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Hidayat Amir, optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap berada dalam skenario pemerintah, yaitu 2,3 persen hingga minus 0,4 persen.

“Kalau tadi World Bank menaruh situasi skenarionya pertumbuhan Indonesia full year nol persen, tapi kami di pemerintah Kemenkeu memprediksikan akan tetap tumbuh di kisaran 2,3 persen sampai minus 0,4 persen,” katanya.

photo
Donald Trump ngotot buka ekonomi AS - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement