REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut pernyataan Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membangun opini keliru kepada masyarakat. Boyamin tak paham konstruksi kasus.
"Pernyataan Boyamin Saiman menunjukkan yang bersangkutan tidak paham akan konstruksi kasus, namun terlanjur sudah membangun opini yang keliru kepada masyarakat," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri melalui keterangannya di Jakarta, Jumat.
Ia menegaskan OTT dilakukan setelah KPK diminta bantuan oleh Itjen Kemendikbud karena ada dugaan pemberian sejumlah uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang kontruksi kasusnya adalah diduga atas perintah Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komarudin.
"Yang tertangkap tangan ada satu orang, yaitu DAN (Dwi Achmad Noor/Kabag Kepegawaian UNJ) dengan barang bukti sebagaimana rilis Deputi Penindakan KPK (Karyoto) dan yang tertangkap menurut undang-undang bukan masuk kategori penyelenggara negara," ungkap Ali.
Menurut dia, KPK sudah sering melakukan penyerahan kasus kepada penegak hukum lain, baik ke Kepolisian maupun Kejaksaan karena memang ketika setelah meminta keterangan berbagai pihak ternyata tidak ditemukan perbuatan pelaku penyelenggara negaranya.
"Kita tahu bahwa aparat penegak hukum lain ketika menangani perkara korupsi tidak dibatasi adanya unsur melibatkan penyelenggara negara, berbeda dengan KPK yang ada batasan Pasal 11 UU KPK. Ini perlu kami sampaikan agar Boyamin Saiman juga paham soal ini," ujarnya.
Selain itu, Ali juga menyatakan terbuka kemungkinan lembaganya menangani kasus itu jika nanti setelah diserahkan ke KPK ternyata ditemukan keterlibatan unsur penyelenggara negara.
Sebelumnya, MAKI menyoroti OTT yang dilakukan KPK di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu (20/5).
"OTT ini sangat tidak berkelas dan sangat memalukan karena KPK saat ini OTT hanya level kampus, hanya uang THR dan lebih parah lagi kemudian penanganannya diserahkan kepada polisi dengan alasan tidak ada penyelenggara negaranya," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pelimpahan kepada Kepolisian karena tidak adanya unsur penyelenggara negara juga sangat janggal karena apapun rektor merupakan jabatan tinggi di Kemendikbud.
"Mestinya KPK tetap lanjut tangani sendiri dan tidak serahkan kepada polisi. Rektor adalah penyelenggara negara karena ada kewajiban laporkan hartanya. Kalau KPK bilang tidak ada penyelenggara negara, bagaimana polisi memrosesnya, apa dengan pasal pungutan liar? Ini yang akan menyulitkan polisi menerima limpahan dari KPK," tuturnya.